Senin, 24 April 2017

Kesedihan "Rasul Akhir Zaman" Berkenaan Kemunduran Umat Islam Akibat "Meninggalkan" Al-Quran & Pentingnya Berpegang-teguh Pada "Tali Allah" yang Diturunkan di Akhir Zaman



Bismillaahirrahmaanirrahiim

“ARBA’IN”

ARBA’IN LI-ITMÂMIL HUJJAH ‘ALAL MUKHALLIFÎN
(Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argumen Bagi Para Penentang)

  Karya

  Mirza Ghulam Ahmad a.s.
(Al-Masih Al-Mau’ud a.s.   -- Al-Masih yang Dijanjikan a.s.)


Bagian 10

ARBA’ÎN KE II

KESEDIHAN RASUL AKHIR ZAMAN BERKENAAN  KEMUNDURAN UMAT ISLAM AKIBAT "MENINGGALKAN" AL-QURAN &  PENTINGNYA BERPEGANG-TEGUH PADA “TALI ALLAH” YANG DITURUNKAN DI AKHIR ZAMAN

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam akhir  Bab sebelumnya – mengakhiri ARBA’IN I -- telah dikemukakan topik   Pentingnya Beriman Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. dan Beragama Islam & Pentingnya Beriman  kepada Rasul Akhir Zaman.     
      Dari penjelasan berbagai  ayat-ayat Al-Quran  mengenai kedudukan Nabi Besar Muhammad saw. sebagai rasul pembawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) serta terbukanya semua martabat keruhanian -- nabiyyīn, shiddiqīn, syuhada dan shālihīn   -- bagi para pengikut sejati beliau saw. (QS.3:32; QS.4:70-71) maka  dapat dimengerti mengapa Allah Swt.  telah berfirman:
وَ مَنۡ یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan   barangsiapa mencari agama yang bukan agama Islam, maka  agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi. (Âli ‘Imran [3]:86).

Keburukan Kufur (Kafir) Setelah Beriman

     Logikanya adalah ketika seseorang   sudah siap untuk memasuki jenjang pendidikan di  tingkat Perguruan Tinggi  tetapi ia  -- karena tidak mau bersusah-payah berpikir  dan belajar --  lalu memilih menempuh pendidikan pada  tingkatan SD atau SLTP atau SLTA maka ia telah merugikan dirinya sendiri dan sampai kapan pun tidak akan pernah meraih gelar kesarjanaan. Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai alasan penolakan-Nya:
کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ  قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ  اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾ خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ﴾   اِلَّا الَّذِیۡنَ تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا ۟ فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿
Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula bahwa sesungguhnya  rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti  yang nyata?  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.   Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya   adalah    laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya.   Mereka kekal di dalamnya, azab tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan,  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Âli ‘Imran [3]:87-90).
      Makna ayat 87 tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman kepada kebenaran seorang nabi Allah dan menyatakan keimanan mereka kepada nabi Allah tersebut secara terang-terangan dan menjadi saksi atas Tanda-tanda Ilahi, tetapi kemudian menolaknya karena takut kepada mayoritas manusia yang menentang rasul Allah tersebut, atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat lagi petunjuk kepada jalan yang lurus.
         Atau, ayat itu dapat pula mengisyaratkan kepada mereka yang beriman kepada para nabi Allah terdahulu tetapi menolak  beriman kepada Nabi Besar  Muhammad saw. – sebagaimana dilakukan golongan Ahli Kitab yang mengetahui berbagai nubuatan mengenai Nabi Besar Muhammad saw. bagaikan mengenali anak-anak mereka sendiri (QS.2:147; QS.6:21), dan berlaku pula bagi penolakan terhadap  Rasul Akhir Zaman  yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama, itulah makna firman-Nya:
کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ  قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ اللّٰہُ  لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾   
Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula bahwa sesungguhnya  rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti  yang nyata?  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalimاُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ  اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ       --   Mereka inilah orang-orang yang atas mereka balasannya   adalah  laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا  ہُمۡ  یُنۡظَرُوۡنَ --   Mereka kekal di dalamnya, azab tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan,  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Âli ‘Imran [3]:87-89).
           Kemudian makna ayat selanjutnya:  اِلَّا الَّذِیۡنَ تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا ۟ فَاِنَّ اللّٰہَ  غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ -- “Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan,  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Âli ‘Imran [3]:87-90).” Hanya semata-mata bertaubat dan menyesal atas perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan di masa yang sudah-sudah tidak cukup untuk mendapat pengampunan Ilahi, satu janji yang sungguh-sungguh untuk menjauhi perilaku buruk dan satu tekad bulat untuk membenahi orang-orang lain pun diperlukan untuk maksud itu.
    
Kesedihan Rasul Akhir Zaman

      Selanjutnya akan dibahas mengenai penjelasan Masih Mau’ud a.s. dalam Arba’in II. Beliau  mengawali tulisannya berupa keprihatinan melihat keadaan umat manusia  yang telah melantur jauh dari  Tauhid Ilahi yakni keimanan kepada Tuhan Pencipta alam semesta yang hakiki yaitu Allah Swt.., firman-Nya:
   وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan  Rasul itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya kaumku te-lah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan.   Dan demikianlah Kami  telah menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi   dari antara orang-orang yang berdosa, dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqān [25]:31-32).  
     Ayat 31 dengan sangat tepat sekali dapat dikenakan kepada mereka yang menamakan diri orang-orang Muslim  di Akhir Zaman tetapi telah menyampingkan Al-Quran dan telah melemparkannya ke belakang. Barangkali belum pernah terjadi selama 14 abad ini di mana Al-Quran demikian rupa diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang Muslim seperti dewasa ini.
      Ada sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw.  yang mengatakan: “Satu saat akan datang kepada kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran melainkan kata-katanya (Baihaqi, Syu’ab-ul-iman). Sungguh masa sekarang-sekarang inilah saat yang dimaksudkan itu.
      Kesedihan yang Masih Mau’ud a.s. rasakan terutama melihat keadaan umat Islam  yang tidak lagi mencerminkan gelar kehormatan yang dianugerahkan Allah Swt. kepada mereka yaitu sebagai “umat terbaik” yang diciptakan untuk manfaat seluruh umat manusia, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ شَہِیۡدًا ؕ
Dan demikianlah  Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia supaya kamu senantiasa menjadi penjaga manusia dan supaya Rasul itu senantiasa menjadi penjaga  kamu. (Al-Baqarah [2]:144).
      Al-wasath berarti: menempati kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Aqrab-ul-Mawarid). Kata itu dipakai di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin disebut kaum terbaik, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ  الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu adalah umat terbaik  yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia,  kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang durhaka (Âli ‘Imran [3]:111).

Pentingnya Berpegang-teguh Pada “Tali Allah

        Ayat ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin itu kaum  yang terbaik — sungguh suatu proklamasi besar — melainkan menyebutkan pula sebab-sebabnya:
(1)         Mereka telah dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya;
(2)  Telah menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
            Kemuliaan kaum Muslimin bergantung pada dan ditentukan oleh kedua syarat itu. Apabila kedua syarat utama tersebut telah hilang dari kaum Muslimin maka gelar sebagai “umat terbaik” pun akan lenyap sebab tidak lagi didukung oleh  kenyataan berupa  adanya keselarasan antara ucapan dengan perbuatan, akibatnya umat Islam pun menjadi umat yang terpecah-belah dan saling bertentangan  --  sebagaimana yang terjadi di kalangan golongan Ahli-Kitab atau Bani Israil  -- firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا  لِمَ  تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا  تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾ کَبُرَ  مَقۡتًا عِنۡدَ  اللّٰہِ  اَنۡ  تَقُوۡلُوۡا مَا  لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ  صَفًّا کَاَنَّہُمۡ  بُنۡیَانٌ  مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan?  Adalah sesuatu yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.  Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang  dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun rapat.  (Ash-Shaf [61]:3-5).
   Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai dengan pernyataan-pernyataannya. Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju, dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.

Perpecahan Umat Islam Setelah Mengalami Kejayaan Pertama Selama  Tiga Abad

   Menurut ayat 5 orang-orang Muslim  -- setelah mengalami keterpecah-belahan pada masa kemunduran selama  1000 tahun setelah mengalami masa kejayaan yang pertama selama 3 abad (QS.32:6)   -- diharapkan tampil kembali dalam barisan yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan kejahatan, di bawah komando pemimpin mereka, yang terhadapnya mereka harus taat dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya.
  Tetapi suatu kaum, yang berusaha menjadi satu jemaat yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu tata-cara hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan satu rencana untuk mencapai tujuan itu, yang disebut dengan “berpegang pada tali Allah”, firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ  لَعَلَّکُمۡ  تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.  Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali  Allah,   janganlah kamu berpecah-belah,  dan  ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Ali ‘Imran [3]:103-104).
        Makna ayat 103 karena kedatangan saat kematian tidak diketahui, orang-orang beriman   dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah  diri kepada Allah Swt. hanya bila  mereka  senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman  harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt. Dan  itu hanya mungkin jika orang-orang beriman berada dalam     “takwa yang hakiki”, sebagaimana  firman-Nya: یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ   -- “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.”  

Makna “Tali Allah” & Pentingnya Pengutusan Rasul Allah

         Makna  habl  dalam ayat: وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا  -- “Dan  berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah,” berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane).
        Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan telah bersabda:  “Kitab Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30). Tetapi karena  Allah Swt. tidak pernah mewahyukan syariat  atau wahyu non-syariat secara langsung kepada suatu kaum atau kepada umat manusia melainkan senantiasa melalui pengutusan rasul Allah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para rasul Allah pun merupakan “tali Allah” pula.
      Mengapa demikian? Sebab tanpa pengutusan  rasul Allah   yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37)    keberadaan  hukum syariat (kitab suci)  -- bagaimana pun sempurnanya wahyu syariat tersebut  -- seakan-akan   sia-sia belaka.   Contohnya wahyu Al-Quran hingga saat ini – berkat jaminan Allah Swt. dalam QS.15:10, tetap ada dan terpelihara dengan baik – tetapi dalam kenyataannya umat Islam semakin terpecah-belah menjadi berbagai  firqah yang saling  bertentangan bahkan saling mengkafirkan dan saling memerangi dengan mengatas-namakan ayat-ayat Al-Quran yang mereka fahami sesuai keinginan mereka, terutama ayat-ayat Al-Quran yang mutāsyabihāt  (QS.3:8-9; QS.30:31-33).
       Jadi, surah Âli ‘Imran ayat  104   merupakan salah satu dari ayat-ayat Al-Quran atau petunjuk Allah Swt. yang telah diabaikan oleh umumnya para pemuka umat Islam di Akhir Zaman ini, sehingga membuat umat Islam kembali terpecah-belah  -- bagaikan qabilah-qabilah bangsa Arab jahiliyah ketika Nabi Besar Muhammad saw. dibangkitkan di kalangan mereka (QS.62:3-4), firman-Nya:    وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا   -- “dan  ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara.”
       Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab jahiliyah sebelum  kedatangan  Nabi Besar Muhammad saw.  di tengah mereka (QS.3:180; QS.62:3-4), tetapi dalam pada itu sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..

Kembali Berada di “Tepi Jurang Api

     Selanjutnya Allah Swt. mengingatkan umat Islam – teruatama umat Islam di kawan Timur Tengah   --  firman-Nya:   “dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk.“
      Kata-kata   berada di tepi jurang Api,”  berarti peperangan; saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab di zaman jahiliyah senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka, sebagaimana yang kini kembali terjadi di kawasan Timur Tengah.
        Pendek kata, guna mengembalikan keadaan  umat Islam  di Akhir zaman ini yang terpecah-belah kembali menjadi “satu umat”  sebagaimana di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan zaman para Khulafatur- Rasyidin maka sesuai janji-Nya Allah Swt.  di Akhir Zaman ini kembali mengulurkan “tali Allah” dari langit berupa pengutusan Rasul Akhir Zaman  (QS.7:35-37; QS.62:3-5) yang merupakan Imam (Pemimpin) yang dalam kepemimpinannya serta dalam memutuskan berbagai perselisihan di kalangan semua umat beragama berdasarkan petunjuk wahyu Ilahi,  sehingga Nabi Besar Muhammad saw. menyebutnya sebagai Imam Mahdi a.s.   sebagai Hakaman ‘Adalan  (Hakim yang adil).
      Namun  dalam kenyataannya,  ketika Imam Mahdi a.s. atau Masih Mau’ud a.s. tersebut  benar-benar  muncul memenuhi semua  nubuatan Al-Quran dan sabda-sabda Nabi Besar Muhammad saw. beliau, maka  seperti halnya semua Rasul Allah yang diutus sebelumnya, termasuk Nabi Besar Muhammad saw., mereka semua mendapat penentangan keras,   demikian pula halnya dengan Rasul Akhir Zaman tersebut sebagaimana firman-Nya sebelum ini: 
 وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾  وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan  Rasul itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang telah ditinggalkan. وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ  --  Dan demikianlah Kami  telah menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi  dari antara orang-orang yang berdosa, وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا -- dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqān [25]:31-32). 
        Sehubungan kenyataan yang melanda  umumnya umat Islam di seluruh dunia – terutama di wilayah Timur Tengah saat ini  -- Masih Mau’ud a.s. mengemukakan keprihatinan beliau a.s. yang sangat besar sebagaimana dikemukakan  dalam Arba’in II  berikut  ini, sesuai nubuatan dalam surah Al-Furqān [25]:31  mengenai kesedihan Rasul Akhir Zaman sebelum ini.

Arba’in II
 
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

Nahmaduhu wa nushalli ‘alā  rasūlihil-karīm

 Rabbi- ghfir dzunûbanâ wa-hdi qulūbanā innaka aladzdzu-  asy-yā-i  an-yusyqā zur-‘atan- min ‘irfānika wa lā yusyqā  illā bi-fadhlika  wa- mtinānika. Rabbi inniy asykū ilā hadharatika min- mushībatin   nazalat ‘alā hādzihil- ummati   min  anwā-‘i-lfitani    wat- tafarruqati. Rabbi adrik  fa-innal-qawma mudrakûna.  
 “Ya Rabb (Tuhan), ampunilah  dosa-dosa kami dan bimbinglah hati kami, sesungguhnya Engkau adalah sesuatu  yang paling lezat untuk diminum seteguk dari makrifat Engkau, dan tidak bisa diminum kecuali melalui karunia dan anugerah Engkau. Ya Rabb (Tuhan), sesungguhnya aku mencurahkan ke hadhirat Engkau musibah yang turun atas umat ini berupa bencana-bencana fitnah dan perpecahan. Ya Rabb (Tuhan), tangkaplah [mereka] karena sesungguhnya kaumku dalam keadaan tertangkap.”

          Oleh karena  tujuan diciptakannya  manusia oleh Allah Ta’ala adalah untuk beribadah dan mengenal-Nya, maka dari itu Allah menghendaki agar manusia berusaha menambah kemajuan dalam beribadah dan mengenal-Nya.
       Jika datang suatu era (zaman) baru, kebanyakan makhluk gejolak hatinya condong kepada dunia, kecintaan terhadap dunia semakin melekat di hati, rasa kasih-sayang  terhadapnya (dunia)  mencengkramnya, sedangkan  kecintaan kepada Allah dan keikhlasan terlepas dari hati.   Jalan untuk mengenal Khaliq (Tuhan Pencipta) menjadi hilang dan Tanda-tanda Tuhan yang telah dizahirkan melalui nabi-nabi-Nya yang suci telah dianggap sebagai dongeng belaka. 
        Tidak ada lagi usaha untuk membersihkannya, tak ada lagi jalinan hubungan dengan Allah, dan tak ada lagi perhubungan di dalam hati, bahkan sedikitpun tak ada lagi di dalam hati perasaan cinta akan  keagungan Tuhan. Atau, anggapan mereka   merupakan suatu kedustaan belaka yang dijadikan perolok-olokan, sebagaimana sekarang ini para necri (penganut faham naturalisme) dan Brahma, yang kebanyakan mereka beranggapan demikian.
     Pendek kata, pada suatu masa dimana cahaya Tuhan mulai pudar maka akhirnya ribuan manusia tersesat ke dalam kezaliman (keaniayaan), bahkan mereka menjadi penganut animisme. Dunia penuh dengan kelalaian dan dosa-dosa, maka di saat itu gairat kemarahan Tuhan dan kegagahan Tuhan serta  ‘izat-Nya (kemuliaan-Nya) bangkit kembali menampakkan diri ke hadapan manusia.”

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
                                                                              ***
Pajajaran Anyar,  20 April    2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Persamaan "Sunnatullaah" Mengeai "Kebinasaan Para Pendusta" Atas Nama "Allah Swt." Dalam "Al-Quran" Dengan "Sunnatullaah" Dalam "Kitab-kitab Ilhami"Dalam "Bible"

Bismillaahirrahmaanirrahiim “ARBA’IN” ARBA’IN LI-ITMÂMIL HUJJAH ‘ALAL MUKHALLIFÎN (Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argu...