Bismillaahirrahmaanirrahiim
“ARBA’IN”
ARBA’IN LI-ITMÂMIL HUJJAH ‘ALAL MUKHALLIFÎN
(Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argumen Bagi Para Penentang)
Karya
Mirza Ghulam Ahmad
a.s.
(Al-Masih Al-Mau’ud a.s.
-- Al-Masih yang Dijanjikan a.s.)
Bagian 10
ARBA’ÎN KE II
KESEDIHAN RASUL AKHIR ZAMAN
BERKENAAN KEMUNDURAN UMAT ISLAM AKIBAT "MENINGGALKAN" AL-QURAN & PENTINGNYA
BERPEGANG-TEGUH PADA “TALI ALLAH” YANG DITURUNKAN DI AKHIR ZAMAN
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya – mengakhiri ARBA’IN I -- telah dikemukakan topik Pentingnya Beriman
Kepada Nabi Besar Muhammad Saw. dan Beragama Islam & Pentingnya Beriman
kepada Rasul Akhir Zaman.
Dari penjelasan
berbagai ayat-ayat Al-Quran mengenai kedudukan
Nabi Besar Muhammad saw. sebagai rasul
pembawa syariat terakhir dan tersempurna (QS.5:4) serta terbukanya semua martabat keruhanian -- nabiyyīn,
shiddiqīn, syuhada dan shālihīn -- bagi para pengikut sejati beliau saw. (QS.3:32; QS.4:70-71) maka dapat dimengerti mengapa Allah Swt. telah berfirman:
وَ مَنۡ
یَّبۡتَغِ غَیۡرَ الۡاِسۡلَامِ دِیۡنًا فَلَنۡ یُّقۡبَلَ مِنۡہُ ۚ وَ ہُوَ فِی
الۡاٰخِرَۃِ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿﴾
Dan barangsiapa
mencari agama yang bukan agama
Islam, maka agama itu tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi. (Âli ‘Imran [3]:86).
Keburukan Kufur (Kafir) Setelah Beriman
Logikanya adalah ketika seseorang sudah siap
untuk memasuki jenjang pendidikan di tingkat Perguruan
Tinggi tetapi ia -- karena tidak mau bersusah-payah berpikir dan belajar -- lalu memilih menempuh pendidikan pada tingkatan SD
atau SLTP atau SLTA maka ia telah merugikan
dirinya sendiri dan sampai kapan pun tidak akan pernah meraih gelar kesarjanaan. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman mengenai alasan penolakan-Nya:
کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ
شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ
اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ ﴿ۙ﴾ خٰلِدِیۡنَ
فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ لَا ہُمۡ
یُنۡظَرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ اِلَّا الَّذِیۡنَ تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ
ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا ۟ فَاِنَّ اللّٰہَ
غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿ ﴾
Bagaimana mungkin
Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula
bahwa sesungguhnya rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata? Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Mereka
inilah orang-orang yang atas
mereka balasannya adalah laknat Allah, malaikat dan manusia
seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, azab
tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(Âli
‘Imran [3]:87-90).
Makna ayat 87 tentu saja suatu kaum yang mula-mula beriman kepada kebenaran seorang nabi Allah dan
menyatakan keimanan mereka kepada nabi Allah tersebut secara
terang-terangan dan menjadi saksi
atas Tanda-tanda Ilahi, tetapi
kemudian menolaknya karena takut kepada mayoritas manusia yang menentang rasul Allah tersebut, atau karena pertimbangan duniawi lainnya, mereka kehilangan segala hak untuk mendapat lagi petunjuk
kepada jalan yang lurus.
Atau, ayat itu
dapat pula mengisyaratkan kepada mereka yang beriman kepada para nabi
Allah terdahulu tetapi menolak beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. – sebagaimana dilakukan
golongan Ahli Kitab yang mengetahui
berbagai nubuatan mengenai Nabi Besar
Muhammad saw. bagaikan mengenali anak-anak mereka sendiri (QS.2:147;
QS.6:21), dan berlaku pula bagi penolakan
terhadap Rasul Akhir Zaman yang
kedatangannya ditunggu-tunggu oleh
semua umat beragama, itulah makna firman-Nya:
کَیۡفَ یَہۡدِی اللّٰہُ قَوۡمًا کَفَرُوۡا بَعۡدَ اِیۡمَانِہِمۡ وَ
شَہِدُوۡۤا اَنَّ الرَّسُوۡلَ حَقٌّ وَّ جَآءَہُمُ الۡبَیِّنٰتُ ؕ وَ
اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Bagaimana mungkin Allah
akan memberi petunjuk kepada suatu
kaum yang kafir setelah mereka
beriman, dan mereka telah menjadi
saksi pula bahwa sesungguhnya rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata? Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. اُولٰٓئِکَ جَزَآؤُہُمۡ اَنَّ عَلَیۡہِمۡ لَعۡنَۃَ اللّٰہِ وَ
الۡمَلٰٓئِکَۃِ وَ النَّاسِ اَجۡمَعِیۡنَ -- Mereka
inilah orang-orang yang atas
mereka balasannya adalah laknat Allah, malaikat dan manusia
seluruhnya. خٰلِدِیۡنَ فِیۡہَا ۚ لَا یُخَفَّفُ عَنۡہُمُ الۡعَذَابُ وَ
لَا ہُمۡ
یُنۡظَرُوۡنَ -- Mereka kekal di dalamnya, azab
tidak akan diringankan dari mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(Âli
‘Imran [3]:87-89).
Kemudian makna ayat
selanjutnya: اِلَّا الَّذِیۡنَ
تَابُوۡا مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِکَ وَ اَصۡلَحُوۡا ۟ فَاِنَّ اللّٰہَ غَفُوۡرٌ
رَّحِیۡمٌ -- “Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan melakukan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(Âli
‘Imran [3]:87-90).” Hanya semata-mata bertaubat dan menyesal
atas perbuatan-perbuatan jahat yang
dilakukan di masa yang sudah-sudah tidak cukup untuk mendapat pengampunan Ilahi, satu janji yang sungguh-sungguh untuk menjauhi perilaku buruk dan satu tekad bulat untuk membenahi orang-orang lain pun diperlukan untuk maksud itu.
Kesedihan Rasul Akhir Zaman
Selanjutnya akan dibahas mengenai penjelasan Masih Mau’ud a.s. dalam Arba’in II. Beliau mengawali tulisannya berupa keprihatinan melihat keadaan umat manusia yang telah melantur jauh dari Tauhid
Ilahi yakni keimanan kepada Tuhan Pencipta alam semesta yang hakiki yaitu Allah Swt.., firman-Nya:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی
اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ
وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya kaumku te-lah menjadikan
Al-Quran ini sesuatu yang
telah ditinggalkan. Dan
demikianlah Kami telah menjadikan musuh bagi tiap-tiap nabi dari antara orang-orang yang berdosa, dan cukuplah
Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi
petunjuk dan penolong. (Al-Furqān
[25]:31-32).
Ayat 31 dengan sangat tepat sekali dapat
dikenakan kepada mereka yang menamakan diri orang-orang Muslim di Akhir Zaman tetapi telah menyampingkan Al-Quran dan telah melemparkannya ke
belakang. Barangkali belum pernah terjadi selama 14 abad ini di mana Al-Quran demikian rupa diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang Muslim
seperti dewasa ini.
Ada sebuah hadits Nabi Besar Muhammad saw. yang mengatakan: “Satu saat akan datang kepada kaumku, bila tidak ada yang tinggal dari
Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran melainkan kata-katanya” (Baihaqi, Syu’ab-ul-iman). Sungguh
masa sekarang-sekarang inilah saat yang dimaksudkan itu.
Kesedihan yang Masih Mau’ud a.s. rasakan terutama melihat keadaan umat Islam yang tidak lagi mencerminkan gelar kehormatan yang dianugerahkan
Allah Swt. kepada mereka yaitu sebagai “umat
terbaik” yang diciptakan untuk manfaat
seluruh umat manusia, firman-Nya:
وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنٰکُمۡ اُمَّۃً وَّسَطًا
لِّتَکُوۡنُوۡا شُہَدَآءَ عَلَی النَّاسِ وَ یَکُوۡنَ الرَّسُوۡلُ عَلَیۡکُمۡ
شَہِیۡدًا ؕ
Dan
demikianlah Kami menjadikan kamu satu umat yang mulia
supaya kamu senantiasa menjadi
penjaga manusia dan supaya Rasul itu
senantiasa menjadi penjaga kamu. (Al-Baqarah [2]:144).
Al-wasath
berarti: menempati kedudukan di tengah; baik dan mulia dalam pangkat (Aqrab-ul-Mawarid). Kata itu
dipakai di sini dalam arti baik dan mulia. Dalam QS.3:111 pun kaum Muslimin disebut kaum terbaik, firman-Nya:
کُنۡتُمۡ
خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ
وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ
وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ
لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا
لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ
الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ
الۡفٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Kamu
adalah umat terbaik yang dibangkitkan demi kebaikan umat manusia, kamu menyuruh berbuat makruf, melarang dari berbuat munkar, dan
beriman kepada Allah. Dan seandainya Ahlul Kitab beriman niscaya akan lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman tetapi kebanyakan mereka orang-orang durhaka (Âli
‘Imran [3]:111).
Pentingnya Berpegang-teguh Pada “Tali
Allah”
Ayat
ini bukan saja mencanangkan bahwa kaum Muslimin
itu kaum yang terbaik — sungguh suatu proklamasi
besar — melainkan menyebutkan pula sebab-sebabnya:
(1)
Mereka telah
dibangkitkan untuk kepentingan umat manusia seluruhnya;
(2) Telah
menjadi kewajiban mereka menganjurkan berbuat kebaikan dan melarang
berbuat keburukan serta beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemuliaan kaum Muslimin
bergantung pada dan ditentukan oleh kedua
syarat itu. Apabila kedua syarat
utama tersebut telah hilang dari kaum Muslimin
maka gelar sebagai “umat terbaik” pun
akan lenyap sebab tidak lagi didukung
oleh kenyataan
berupa adanya keselarasan antara ucapan
dengan perbuatan, akibatnya umat
Islam pun menjadi umat yang terpecah-belah dan saling bertentangan -- sebagaimana yang terjadi di kalangan golongan
Ahli-Kitab atau Bani Israil -- firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لِمَ
تَقُوۡلُوۡنَ مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
﴿﴾ کَبُرَ مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰہِ
اَنۡ تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ
یُحِبُّ الَّذِیۡنَ یُقَاتِلُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ صَفًّا کَاَنَّہُمۡ بُنۡیَانٌ
مَّرۡصُوۡصٌ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, mengapa
kamu mengatakan apa yang kamu tidak kerjakan? Adalah sesuatu
yang paling dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dalam barisan-barisan, mereka itu seakan-akan suatu bangunan yang tersusun
rapat. (Ash-Shaf [61]:3-5).
Perbuatan seorang Muslim hendaknya sesuai
dengan pernyataan-pernyataannya.
Bicara sombong dan kosong membawa seseorang tidak keruan kemana yang dituju,
dan ikrar-ikrar lidah tanpa disertai perbuatan-perbuatan nyata adalah berbau kemunafikan dan ketidaktulusan.
Perpecahan Umat Islam Setelah Mengalami Kejayaan
Pertama Selama Tiga Abad
Menurut ayat 5
orang-orang Muslim -- setelah mengalami keterpecah-belahan pada masa kemunduran selama 1000
tahun setelah mengalami masa kejayaan
yang pertama selama 3 abad
(QS.32:6) -- diharapkan tampil kembali dalam
barisan yang rapat, teguh dan kuat terhadap kekuatan-kekuatan
kejahatan, di bawah komando pemimpin
mereka, yang terhadapnya mereka harus
taat dengan sepenuhnya dan seikhlas-ikhlasnya.
Tetapi suatu kaum, yang berusaha menjadi satu jemaat yang kokoh-kuat, harus mempunyai satu
tata-cara hidup, satu cita-cita, satu maksud, satu tujuan dan satu rencana
untuk mencapai tujuan itu, yang
disebut dengan “berpegang pada tali Allah”,
firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ
مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾ وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا ۪ وَ اذۡکُرُوۡا
نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ
قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ
بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا ۚ وَ
کُنۡتُمۡ عَلٰی
شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا ؕ کَذٰلِکَ یُبَیِّنُ اللّٰہُ
لَکُمۡ اٰیٰتِہٖ لَعَلَّکُمۡ
تَہۡتَدُوۡنَ ﴿﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati kecuali kamu
dalam keadaan berserah diri. Dan berpegangteguhlah
kamu sekalian pada tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah, dan ingatlah
akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu
dahulu bermusuh-musuhan, lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka dengan
nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara, dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Ali
‘Imran [3]:103-104).
Makna ayat 103 karena kedatangan saat kematian tidak diketahui, orang-orang
beriman dapat berkeyakinan akan mati
dalam keadaan berserah diri kepada Allah Swt. hanya bila mereka
senantiasa tetap dalam keadaan
menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi
ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang
beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt. Dan itu hanya mungkin jika orang-orang beriman berada dalam
“takwa yang hakiki”, sebagaimana
firman-Nya: یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ -- “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.”
Makna “Tali Allah” & Pentingnya Pengutusan
Rasul Allah
Makna
habl dalam ayat: وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا --
“Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali Allah,” berarti: seutas
tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian
atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang;
persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane).
Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kitab
Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu
Jarir, IV, 30). Tetapi
karena Allah Swt. tidak pernah mewahyukan syariat atau wahyu
non-syariat secara langsung
kepada suatu kaum atau kepada umat manusia melainkan senantiasa melalui pengutusan rasul Allah, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa para rasul Allah pun merupakan “tali Allah” pula.
Mengapa demikian? Sebab tanpa pengutusan rasul
Allah yang kedatangannya dijanjikan (QS.7:35-37) keberadaan
hukum syariat (kitab
suci) -- bagaimana pun sempurnanya wahyu syariat tersebut -- seakan-akan sia-sia
belaka. Contohnya wahyu Al-Quran hingga saat ini – berkat jaminan Allah Swt. dalam QS.15:10, tetap ada dan terpelihara dengan baik – tetapi dalam kenyataannya umat Islam semakin terpecah-belah
menjadi berbagai firqah yang saling bertentangan bahkan saling mengkafirkan dan saling memerangi dengan mengatas-namakan ayat-ayat Al-Quran yang mereka fahami
sesuai keinginan mereka, terutama ayat-ayat Al-Quran yang mutāsyabihāt (QS.3:8-9; QS.30:31-33).
Jadi, surah Âli ‘Imran ayat 104 merupakan salah satu dari ayat-ayat Al-Quran atau petunjuk Allah Swt. yang telah diabaikan oleh umumnya para pemuka umat Islam di Akhir Zaman ini, sehingga membuat umat Islam kembali terpecah-belah -- bagaikan qabilah-qabilah bangsa Arab jahiliyah ketika Nabi
Besar Muhammad saw. dibangkitkan di kalangan mereka (QS.62:3-4),
firman-Nya: وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا -- “dan ingatlah
akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu
dahulu bermusuh-musuhan, lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan antara satu sama lain maka dengan
nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara.”
Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang
Arab jahiliyah sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di tengah mereka (QS.3:180; QS.62:3-4),
tetapi dalam pada itu sejarah umat
manusia tidak dapat mengemukakan satu
contoh pun ikatan persaudaraan
penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan
Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Kembali
Berada di “Tepi Jurang Api”
Selanjutnya Allah Swt. mengingatkan umat Islam – teruatama umat Islam di kawan Timur Tengah -- firman-Nya: “dan
kamu dahulu berada di tepi jurang Api
lalu Dia menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah
menjelaskan Ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu mendapat petunjuk.“
Kata-kata “berada
di tepi jurang Api,” berarti peperangan;
saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab di zaman
jahiliyah senantiasa terlibat dan
menghabiskan kaum pria mereka,
sebagaimana yang kini kembali terjadi di kawasan
Timur Tengah.
Pendek kata, guna
mengembalikan keadaan umat Islam di Akhir zaman ini yang terpecah-belah kembali menjadi “satu
umat” sebagaimana di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan zaman para Khulafatur- Rasyidin maka sesuai janji-Nya Allah Swt. di Akhir
Zaman ini kembali mengulurkan “tali
Allah” dari langit berupa
pengutusan Rasul Akhir Zaman (QS.7:35-37; QS.62:3-5) yang merupakan Imam (Pemimpin) yang dalam kepemimpinannya serta dalam memutuskan berbagai perselisihan di kalangan semua umat
beragama berdasarkan petunjuk wahyu
Ilahi, sehingga Nabi Besar Muhammad
saw. menyebutnya sebagai Imam Mahdi a.s. sebagai Hakaman
‘Adalan (Hakim yang adil).
Namun dalam kenyataannya, ketika Imam
Mahdi a.s. atau Masih Mau’ud a.s.
tersebut benar-benar muncul memenuhi semua nubuatan
Al-Quran dan sabda-sabda Nabi Besar
Muhammad saw. beliau, maka seperti
halnya semua Rasul Allah yang diutus
sebelumnya, termasuk Nabi Besar Muhammad
saw., mereka semua mendapat penentangan
keras, demikian pula halnya dengan Rasul Akhir Zaman tersebut sebagaimana
firman-Nya sebelum ini:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ
یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ
عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya kaumku telah menjadikan
Al-Quran ini sesuatu yang
telah ditinggalkan. وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ
الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ -- Dan demikianlah
Kami telah menjadikan musuh bagi
tiap-tiap nabi dari antara orang-orang yang berdosa, وَ کَفٰی بِرَبِّکَ
ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا -- dan cukuplah
Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi
petunjuk dan penolong. (Al-Furqān
[25]:31-32).
Sehubungan kenyataan yang melanda umumnya umat
Islam di seluruh dunia – terutama di wilayah Timur Tengah saat ini -- Masih Mau’ud a.s. mengemukakan keprihatinan beliau a.s. yang sangat
besar sebagaimana dikemukakan dalam Arba’in
II berikut ini, sesuai nubuatan dalam surah Al-Furqān [25]:31 mengenai kesedihan Rasul Akhir Zaman sebelum ini.
Arba’in II
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Nahmaduhu wa
nushalli ‘alā rasūlihil-karīm
Rabbi-
ghfir dzunûbanâ wa-hdi qulūbanā innaka aladzdzu- asy-yā-i an-yusyqā zur-‘atan- min ‘irfānika wa lā yusyqā illā bi-fadhlika wa-
mtinānika. Rabbi inniy asykū ilā hadharatika min- mushībatin nazalat ‘alā hādzihil- ummati min
anwā-‘i-lfitani wat- tafarruqati.
Rabbi adrik fa-innal-qawma mudrakûna.
“Ya Rabb (Tuhan), ampunilah dosa-dosa kami dan bimbinglah hati kami,
sesungguhnya Engkau adalah sesuatu yang
paling lezat untuk diminum seteguk dari makrifat Engkau, dan tidak bisa diminum
kecuali melalui karunia dan anugerah Engkau. Ya Rabb (Tuhan), sesungguhnya aku
mencurahkan ke hadhirat Engkau musibah yang turun atas umat ini berupa
bencana-bencana fitnah dan perpecahan. Ya Rabb (Tuhan), tangkaplah [mereka]
karena sesungguhnya kaumku dalam keadaan tertangkap.”
Oleh karena
tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Ta’ala adalah untuk beribadah dan mengenal-Nya,
maka dari itu Allah menghendaki agar
manusia berusaha menambah kemajuan dalam beribadah
dan mengenal-Nya.
Jika datang suatu era (zaman) baru, kebanyakan makhluk gejolak hatinya
condong kepada dunia, kecintaan
terhadap dunia semakin melekat di hati, rasa kasih-sayang terhadapnya
(dunia) mencengkramnya,
sedangkan kecintaan kepada Allah
dan keikhlasan terlepas dari
hati. Jalan untuk mengenal Khaliq (Tuhan Pencipta) menjadi
hilang dan Tanda-tanda Tuhan yang telah dizahirkan melalui nabi-nabi-Nya
yang suci telah dianggap sebagai dongeng
belaka.
Tidak ada lagi usaha untuk membersihkannya, tak ada lagi jalinan hubungan dengan
Allah, dan tak ada lagi perhubungan
di dalam hati, bahkan sedikitpun tak
ada lagi di dalam hati perasaan cinta
akan keagungan Tuhan. Atau, anggapan
mereka merupakan suatu kedustaan belaka yang dijadikan perolok-olokan, sebagaimana sekarang ini para necri (penganut faham naturalisme)
dan Brahma, yang kebanyakan mereka beranggapan demikian.
Pendek kata, pada suatu masa dimana cahaya
Tuhan mulai pudar maka akhirnya
ribuan manusia tersesat ke
dalam kezaliman (keaniayaan), bahkan mereka menjadi penganut animisme. Dunia penuh dengan kelalaian dan dosa-dosa,
maka di saat itu gairat kemarahan Tuhan dan kegagahan Tuhan serta ‘izat-Nya
(kemuliaan-Nya) bangkit kembali menampakkan diri ke hadapan manusia.”
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 20 April
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar