Bismillaahirrahmaanirrahiim
“ARBA’IN”
ARBA’IN LI-ITMÂMIL HUJJAH ‘ALAL MUKHALLIFÎN
(Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argumen Bagi Para Penentang)
Karya
Mirza Ghulam Ahmad a.s.
(Al-Masih Al-Mau’ud a.s.
-- Al-Masih yang Dijanjikan a.s.)
Bagian I
PENGANTAR & HIKMAH PEMBACAAN SHALAWAT NABI BESAR MUHAMMAD SAW. DIHUBUNGKAN DENGAN NABI IBRAHIM A.S.
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam BLOG ini akan dikemukakan “Arba’in
li-itmāmil- hujjah ‘alal-mukhallifīn”(Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argumen Bagi
Para Penentang), salah satu karya agung Mirza Ghulam Ahmad a.s. yakni Al-Masih Al-Mau’ud a.s. (Al-Masih yang Dijanjikan a.s.) atau misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) -- sebagaimana Nabi Besar Muhammad saw.
merupakan misal Nabi Musa a.s. (Ulangan 18:15-19; QS.46:11; QS.73:16) -- dengan demikian sempurnalah nubuatan Al-Quran mengenai makna “empat
burung” Nabi Ibrahim a.s. (QS.2:261)
yang muncul dari kalangan Bani Israil
-- yakni (1) Nabi Musa a.s., (2) Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s. – dan dari
kalangan Bani Isma’il, yakni (3) Nabi Besar Muhammad Saw. atau misal Nabi Musa a.s. dan (4) Mirza
Ghulam Ahmad a.s. atau misal Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
وَ
اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّ
اَرِنِیۡ کَیۡفَ تُحۡیِ الۡمَوۡتٰی ؕ قَالَ اَوَ لَمۡ تُؤۡمِنۡ ؕ قَالَ بَلٰی وَ
لٰکِنۡ لِّیَطۡمَئِنَّ قَلۡبِیۡ ؕ قَالَ فَخُذۡ اَرۡبَعَۃً
مِّنَ الطَّیۡرِ فَصُرۡہُنَّ اِلَیۡکَ ثُمَّ اجۡعَلۡ عَلٰی کُلِّ جَبَلٍ
مِّنۡہُنَّ جُزۡءًا ثُمَّ ادۡعُہُنَّ یَاۡتِیۡنَکَ سَعۡیًا ؕ وَ اعۡلَمۡ اَنَّ
اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ﴿﴾٪
Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku), perlihatkan kepadaku bagaimanakah cara Engkau menghidupkan yang
mati?” قَالَ اَوَ لَمۡ تُؤۡمِنۡ -- Dia berfirman:
“Apakah engkau tidak percaya?” قَالَ بَلٰی وَ لٰکِنۡ لِّیَطۡمَئِنَّ قَلۡبِیۡ -- Ia berkata: “Ya aku percaya, tetapi aku tanyakan supaya
hatiku tenteram.” قَالَ
فَخُذۡ اَرۡبَعَۃً مِّنَ الطَّیۡرِ فَصُرۡہُنَّ اِلَیۡکَ -- Dia berfirman: “Jika demikian,
maka ambillah empat ekor burung
lalu jinakkanlah mereka
kepada engkau, ثُمَّ اجۡعَلۡ عَلٰی کُلِّ
جَبَلٍ مِّنۡہُنَّ جُزۡءًا -- kemudian letakkanlah setiap burung itu di atas tiap-tiap gunung ثُمَّ
ادۡعُہُنَّ یَاۡتِیۡنَکَ سَعۡیًا -- lalu panggillah
mereka, niscaya mereka dengan cepat
akan datang kepada engkau, وَ
اعۡلَمۡ اَنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ -- dan Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah [2]:261).
Perbedaan Iman Dengan Ithminan
Perbedaan antara iman
dengan ithminan (hati dalam
keadaan tenteram) dalam ayat: قَالَ اَوَ
لَمۡ تُؤۡمِنۡ ؕ قَالَ بَلٰی وَ لٰکِنۡ لِّیَطۡمَئِنَّ قَلۡبِیۡ -- Dia berfirman:
“Apakah engkau tidak percaya?” Ia
berkata: “Ya aku percaya, tetapi aku
tanyakan supaya hatiku tenteram.”
ialah, dalam keadaan pertama (iman), orang hanya percaya bahwa Allah Swt.
dapat berbuat sesuatu, sedangkan
dalam keadaan kedua (ithminan) orang
mendapat kepastian bahwa sesuatu
dapat pula berlaku atas dirinya.
Nabi Ibrahim a.s.
sungguh beriman (percaya) bahwa Allah Swt. dapat menghidupkan yang sudah mati,
tetapi apa yang diinginkan beliau ialah kepuasan
pribadi untuk mengetahui apakah Allah Swt. akan berbuat demikian untuk keturunan beliau.
Mengapa demikian? Sebab ketika Nabi Ibrahim a.s. memohon kepada Allah Swt. agar di antara keturunan beliau a.s. pun ada yang dijadikan imam (pemimpin) seperti yang
dianugerahkan Allah Swt. kepada
beliau, jawaban Allah Swt. adalah: “Janji-Ku tidak mencapai
orang-orang yang zalim”, firman-Nya:
وَ اِذِ ابۡتَلٰۤی اِبۡرٰہٖمَ رَبُّہٗ بِکَلِمٰتٍ فَاَتَمَّہُنَّ ؕ قَالَ اِنِّیۡ
جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ؕ قَالَ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِیۡ ؕ قَالَ لَا یَنَالُ عَہۡدِی
الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji oleh
Rabb-nya (Tuhan-nya) dengan beberapa perintah maka dilaksanakannya
sepenuhnya. Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku
akan menjadikan engkau imam bagi manusia.” Ia,
Ibrahim, berkata: “Dan jadikanlah juga imam
dari keturunanku.” Dia
berfirman: “Janji-Ku tidak mencapai yakni
tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
(Al-Baqarah
[2]:125).
Imam
berarti setiap obyek yang diikuti, baik manusia atau suatu Kitab
(Al-Mufradāt). Dengan
demikian jelaslah bahwa makna 4 “burung” Nabi Ibrahim a.s. erat kaitannya dengan
pengutusan rasul Allah yang dibangkitkan
di kalangan keturunan Nabi Ibrahim a.s.
-- yaitu Bani Israil dan Bani Isma’il -- bukan benar-benar “burung” secara jasmani
sebab salah satu arti “burung” dalam mimpi atau dalam rukya atau kasyaf (penglihatan ruhani) adalah keturunan.
Makna Lain Kata Zhan
dan “Empat Burung” Nabi Ibrahim a.s.
Kepada ayat yang dalam bahasan (QS.2:261) tersebut Nabi Besar
Muhammad saw. diriwayatkan
telah bersabda: “Kita lebih layak menaruh
syak daripada
Ibrahim” (Muslim).
Kata syak berarti keinginan
keras yang tersembunyi, menunggu
dengan penuh harapan akan sempurnanya keinginan itu, sebab Nabi
Besar Muhammad saw. tidak
pernah ragu-ragu --- sebagaimana arti lain kata syak (QS.14:10-11; QS.40:35-36) -- mengenai
janji atau apa pun perbuatan Allah Swt.. Hal itu menunjukkan bahwa pertanyaan Nabi Ibrahim a.s. tidak terdorong oleh keraguan, tetapi hanya oleh kedambaan yang sangat.
Berkenaan dengan makna lain kata syak -- yakni “kedambaan
yang sangat” Nabi Ibrahim a.s. -- tersebut Allah Swt. berfirman sehubungan dengan makna lain zhan (dugaan) yaitu yakin:
وَ اسۡتَعِیۡنُوۡا بِالصَّبۡرِ وَ
الصَّلٰوۃِ ؕ وَ اِنَّہَا لَکَبِیۡرَۃٌ اِلَّا عَلَی
الۡخٰشِعِیۡنَ ﴿ۙ﴾ الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوۡا رَبِّہِمۡ وَ
اَنَّہُمۡ اِلَیۡہِ رٰجِعُوۡنَ ﴿﴾
Dan mohonlah
pertolongan kepada Allah dengan
sabar dan shalat,
dan sesungguhnya hal itu benar-benar sangat berat kecuali
bagi orang-orang yang berendah diri.
الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ -- Yaitu orang-orang yang yakin اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوۡا
رَبِّہِمۡ وَ اَنَّہُمۡ اِلَیۡہِ
رٰجِعُوۡنَ -- bahwasanya mereka
akan bertemu dengan Rabb-nya (Tuhannya)
dan bahwa kepada-Nya-lah
mereka akan kembali. (Al-Baqarah [2]:46-47).
Dengan demikian jelaslah bahwa pertanyaan
Nabi Ibrahim a.s. mengenai cara menghidupkan
yang mati sama sekali tidak berkaitan
dengan syak dalam arti ragu melainkan syak dalam makna “sangat mendambakan”, itulah makna firman-Nya:
وَ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ
رَبِّ اَرِنِیۡ کَیۡفَ تُحۡیِ
الۡمَوۡتٰی ؕ قَالَ اَوَ لَمۡ تُؤۡمِنۡ ؕ
قَالَ بَلٰی وَ لٰکِنۡ لِّیَطۡمَئِنَّ قَلۡبِیۡ ؕ
Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabb-ku
(Tuhan-ku), perlihatkan kepadaku bagaimanakah cara Engkau menghidupkan yang mati?” Dia
ber-firman: “Apakah engkau tidak percaya?” Ia berkata: “Ya aku percaya, tetapi aku tanyakan supaya hatiku tenteram.” (Al-Baqarah [2]:261).
Ada
pun makna kalimat shurhunna dalam ayat: قَالَ فَخُذۡ اَرۡبَعَۃً
مِّنَ الطَّیۡرِ فَصُرۡہُنَّ اِلَیۡکَ ثُمَّ اجۡعَلۡ عَلٰی کُلِّ جَبَلٍ
مِّنۡہُنَّ جُزۡءًا ثُمَّ ادۡعُہُنَّ یَاۡتِیۡنَکَ سَعۡیًا -- “Dia berfirman: “Jika demikian, maka ambillah empat ekor burung lalu jinakkanlah mereka
kepada engkau, kemudian letakkanlah
setiap burung itu di atas tiap-tiap
gunung lalu panggillah mereka,
niscaya mereka dengan cepat akan datang
kepada engkau”. Ungkapan “Shurtu al
ghushna ilayya” berarti “saya mencondongkan dahan itu kepadaku
sendiri” (Lexicon Lane).
Kata
depan ila (kepada) menentukan arti kata shurhunna
dalam artian mencondongkan atau melekatkan -- dan bukan memotong
-- yang secara keliru dikenakan kepada ayat ini, padahal yang dimaksud
dengan “menghidupkan yang mati” dalam
ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kematian dan kehidupan
secara jasmani, melainkan kematian dan kehidupan secara ruhani, yang erat hubungannya dengan kesinambungan pengutusan para nabi (rasul) Allah dari kalangan Bani Adam (QS.7:35-37) sampai Hari
Kiamat nanti yaitu dalam rangka menghidupkan kembali akhlak
dan ruhani manusia
atau umat beragama yang telah mati karena jauh dari masa
kenabian yang penuh berkat,
firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang
yang beriman, bahwa hati mereka
tunduk untuk mengingat Allah dan mengingat kebenaran
yang telah turun kepada mereka, dan mereka
tidak menjadi seperti orang-orang yang
diberi kitab sebelumnya, maka zaman
kesejahteraan menjadi panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ
یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ
لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
Sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Empat Kali “Kematian
Ruhani” Bani Israil dan Bani Isma’il
Juz’
dalam ayat: ثُمَّ اجۡعَلۡ عَلٰی کُلِّ جَبَلٍ مِّنۡہُنَّ جُزۡءًا berarti suku, sebagian atau sesuatu.
Jadi, bila sesuatu terdiri atas atau
meliputi suatu rombongan, kata “bagian” akan berarti tiap-tiap anggotanya. Peristiwa yang dikemukakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 261 tersebut
adalah suatu kasyaf (penglihatan ruhani) Nabi Ibrahim a.s., bukan merupakan peristiwa jasmani.
Makna “mengambil empat ekor burung” ialah bahwa keturunan Nabi Ibrahim a.s. bangkit
dan jatuh empat kali, peristiwa itu
disaksikan dua kali di tengah-tengah kaum Bani Israil dan terulang lagi dua kali di tengah-tengah Bani Isma’il yakni para pengikut Nabi Besar Muhammad saw. yang merupakan keturunan Nabi Ibrahim a.s. melalui Nabi Isma’il a.s. (QS.2:128-130), sehingga jumlahnya 4 kali kebangkitan ruhani dan kematian
ruhani, firman-Nya:
وَ قَضَیۡنَاۤ اِلٰی بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ فِی الۡکِتٰبِ
لَتُفۡسِدُنَّ فِی الۡاَرۡضِ
مَرَّتَیۡنِ وَ
لَتَعۡلُنَّ عُلُوًّا کَبِیۡرًا ﴿﴾ فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ اُوۡلٰىہُمَا
بَعَثۡنَا عَلَیۡکُمۡ
عِبَادًا لَّنَاۤ اُولِیۡ بَاۡسٍ
شَدِیۡدٍ فَجَاسُوۡا
خِلٰلَ الدِّیَارِ ؕ وَ کَانَ وَعۡدًا مَّفۡعُوۡلًا ﴿﴾ ثُمَّ رَدَدۡنَا
لَکُمُ الۡکَرَّۃَ عَلَیۡہِمۡ وَ اَمۡدَدۡنٰکُمۡ بِاَمۡوَالٍ وَّ بَنِیۡنَ وَ جَعَلۡنٰکُمۡ اَکۡثَرَ
نَفِیۡرًا ﴿﴾ اِنۡ اَحۡسَنۡتُمۡ اَحۡسَنۡتُمۡ لِاَنۡفُسِکُمۡ ۟ وَ اِنۡ اَسَاۡتُمۡ فَلَہَا ؕ فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ الۡاٰخِرَۃِ لِیَسُوۡٓءٗا وُجُوۡہَکُمۡ وَ لِیَدۡخُلُوا الۡمَسۡجِدَ کَمَا دَخَلُوۡہُ اَوَّلَ مَرَّۃٍ وَّ لِیُتَبِّرُوۡا
مَا عَلَوۡا تَتۡبِیۡرًا ﴿﴾ عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یَّرۡحَمَکُمۡ ۚ وَ اِنۡ عُدۡتُّمۡ عُدۡنَا ۘ وَ جَعَلۡنَا جَہَنَّمَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ
حَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan telah
Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Niscaya kamu akan melakukan kerusakan di muka bumi
ini dua kali, dan niscaya
kamu akan menyombongkan diri dengan
kesombongan yang sangat besar.” فَاِذَا جَآءَ
وَعۡدُ اُوۡلٰىہُمَا
بَعَثۡنَا عَلَیۡکُمۡ عِبَادًا لَّنَاۤ اُولِیۡ بَاۡسٍ شَدِیۡدٍ فَجَاسُوۡا
خِلٰلَ الدِّیَارِ -- Maka apabila datang saat sempurnanya janji
yang pertama dari kedua
janji itu, Kami membangkitkan untuk menghadapi Kamu
hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan tempur yang dahsyat, dan mereka menerobos jauh ke dalam rumah-rumah,
وَ
کَانَ وَعۡدًا مَّفۡعُوۡلًا -- dan itu merupakan
suatu janji yang pasti terlaksana. ثُمَّ رَدَدۡنَا لَکُمُ الۡکَرَّۃَ عَلَیۡہِمۡ وَ اَمۡدَدۡنٰکُمۡ بِاَمۡوَالٍ وَّ بَنِیۡنَ وَ جَعَلۡنٰکُمۡ اَکۡثَرَ
نَفِیۡرًا -- Kemudian Kami
mengembalikan lagi kepada kamu kekuatan untuk melawan mereka, dan Kami membantu kamu dengan harta dan
anak-anak, dan Kami menjadikan kelompok kamu lebih besar dari sebelumnya. اِنۡ اَحۡسَنۡتُمۡ اَحۡسَنۡتُمۡ لِاَنۡفُسِکُمۡ ۟ وَ اِنۡ اَسَاۡتُمۡ فَلَہَا -- Jika kamu berbuat ihsan, kamu berbuat
ihsan bagi diri kamu sendiri, dan jika kamu berbuat buruk maka itu
untuk dirimu sendiri. فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ الۡاٰخِرَۃِ لِیَسُوۡٓءٗا وُجُوۡہَکُمۡ وَ لِیَدۡخُلُوا الۡمَسۡجِدَ کَمَا دَخَلُوۡہُ اَوَّلَ مَرَّۃٍ
وَّ لِیُتَبِّرُوۡا مَا عَلَوۡا تَتۡبِیۡرًا -- Lalu apabila
datang saat sempurnanya janji yang kedua itu Kami membangkitkan
lagi hamba-hamba Kami yang lain supaya
mereka mendatangkan kesusahan kepada pemimpin-pemimpin kamu dan supaya
mereka memasuki masjid seperti pernah mereka memasukinya pada kali pertama,
dan supaya mereka menghancurluluhkan
segala yang telah mereka kuasai. عَسٰی رَبُّکُمۡ اَنۡ یَّرۡحَمَکُمۡ ۚ وَ اِنۡ عُدۡتُّمۡ عُدۡنَا ۘ وَ جَعَلۡنَا جَہَنَّمَ لِلۡکٰفِرِیۡنَ حَصِیۡرًا ﴿﴾ -- Boleh
jadi kini Rabb (Tuhan)
kamu akan menaruh kasihan kepada kamu, tetapi jika kamu kembali kepada perbuatan buruk, Kami pun akan kembali menimpakan
hukuman dan ingatlah, Kami
telah jadikan Jahannam, penjara bagi orang-orang kafir. (Bani Israil [17]:5-8).
Kaum Kafir Sebagai Sarana Penghukum
Allah
Swt.
Kekuasaan kaum
Yahudi yang adalah keturunan Nabi
Ibrahim a.s. melalui Nabi
Ishaq a.s. (Bani Israil) mengalami kehancuran dua kali: pertama kali oleh Nebukadnezar akibat kutukan
Nabi Daud a.s. dan yang kedua kali oleh Titus akibat kutukan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.17:5-8. Encyclopaedia Britannica
pada Jews; QS.5:79-81), dan tiap-tiap kali Allah Swt.
membangkitkan kembali sesudah keruntuhan
mereka; kebangkitan kedua kali Bani Israil terlaksana oleh Konstantin, Maharaja Roma, yang memeluk agama Kristen (QS.7:170), walau pun sudah menyimpang dari Tauhid Ilahi yang diajarkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.5:117-119).
Sebagaimana nubuatan dalam QS.17:5-9
mengenai dua kali hukuman
Allah Swt. kepada Bani Israil, demikian
pula kekuasaan Islam, mula-mula
dengan hebat digoncang ketika kota Baghdad – pusat kekuasaan umat Islam dan pusat
ilmu pengetahuan -- jatuh saat menghadapi serbuan dahsyat pasukan-pasukan Tartar pimpinan Hulaku Khan, tetapi
segera dapat pulih kembali
sesudah pukulan yang meremukkan itu.
Para pemenang berubah menjadi
golongan yang kalah dan cucu Hulaku Khan, perebut Baghdad, masuk Islam.
Hukuman Ilahi pertama menimpa umat
Islam, ketika kota Baghdad jatuh
pada tahun 1258 M. Pasukan-pasukan Hulaku Khan yang biadab
itu sama sekali memusnahkan pusat ilmu
pengetahuan dan kekuasaan yang agung itu -- sebagaimana sebelumnya yang pernah dialami
dua kali oleh kota Yerusalem (QS.2:260 & Matius 23:37-39 &
24:15-22) akibat kutukan nabi Daud a.s. dan nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.5:79)
-- dan konon kabarnya 1.800.000 orang Islam telah terbunuh pada ketika itu.
Tetapi
dari malapetaka yang mengerikan itu
akhirnya Islam keluar sebagai pemenang. Mereka yang menaklukkan menjadi yang ditaklukkan. Cucu Hulaku Khan bersama-sama sejumlah besar orang Mongol dan Tartar
memeluk agama Islam.
Hukuman kedua telah ditakdirkan Allah Swt. akan menimpa umat Islam di Akhir Zaman
ini seiring dengan bangkitnya kembali lagi Ya’juj
(Gog) dan Ma’juj (Magog – Wahyu 20:7-10; QS.18:95-102; QS.21:97) –
yakni bangsa-bangsa Kristen dari
barat pada abad 17 Masehi
-- ketika kemunduran umum dan menyeluruh dialami oleh kaum Muslimin dalam bidang ruhani dan bidang politik.
Sebagai padanannya, kebangkitan
Islam yang kedua dilaksanakan oleh Masih
Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58) – yakni “burung” Nabi Ibrahim a.s. yang
keempat atau kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. secara ruhani di Akhir Zaman ini (QS.62:3-4) – firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ
بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ الۡحَقِّ
لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ٪﴿﴾
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan dengan agama yang benar supaya Dia memenangkannya atas semua agama,
walaupun orang musyrik tidak menyukai. (Ash-Shaff [61]:10).
Kebanyakan ahli
tafsir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini kena untuk Al-Masih yang dijanjikan (Masih Mau’ud as.) sebab di zaman beliau
a.s. semua agama muncul dan keunggulan Islam di atas semua agama akan menjadi kepastian.
Makna Keunggulan Islam Kedua Kali di Akhir Zaman
Pendek kata, pengutusan Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang merupakan penggenapan kedatangan “burung”
Nabi Ibrahim a.s., yang keempat dalam kapasitasnya sebagai Rasul Akhir Zaman yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh semua umat beragama dengan nama
(sebutan) yang berlainan (QS.77:12), yaitu
dalam rangka menghimpun umat manusia ke dalam “Tauhid Ilahi” yang hakiki sebagaimana firman Allah Swt. tersebut.
Itulah makna hakiki dari keunggulan Islam kedua
kali atas semua agama di Akhir Zaman ini yang akan terwujud tanpa melalui kekerasan mau pun paksaan
secara fisik, sebab Nabi Besar
Muhammad saw. adalah Rasul Allah pembawa
rahmat bagi seluruh alam, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ
کَتَبۡنَا فِی الزَّبُوۡرِ مِنۡۢ
بَعۡدِ الذِّکۡرِ اَنَّ الۡاَرۡضَ
یَرِثُہَا عِبَادِیَ الصّٰلِحُوۡنَ ﴿﴾ اِنَّ فِیۡ ہٰذَا لَبَلٰغًا
لِّقَوۡمٍ عٰبِدِیۡنَ ﴿﴾ؕ وَ مَاۤ اَرۡسَلۡنٰکَ
اِلَّا رَحۡمَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ قُلۡ اِنَّمَا یُوۡحٰۤی اِلَیَّ اَنَّمَاۤ اِلٰـہُکُمۡ اِلٰہٌ وَّاحِدٌ ۚ
فَہَلۡ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Kami
benar-benar telah menuliskan dalam Kitab
Zabur sesudah pemberi peringatan
itu, bahwa negeri itu akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang
shalih. Sesungguhnya dalam hal ini ada suatu amanat bagi kaum yang beribadah. Dan
Kami sekali-kali tidak mengutus
engkau melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh alam. Katakanlah: “Sesungguhnya telah diwahyukan kepadaku, bahwasanya
Rabb (Tuhan) kamu adalah Tuhan Yang Esa, maka kepada-Nya
hendaknya kamu berserah diri” (Al-Anbiya [21]:106-109).
Dalam surah lainnya Allah
Swt. berfirman mengenai pewarisan “negeri yang dijanjikan”
(Kanaan/Palestina) kepada umat Islam,
firman-Nya:
وَ قَالَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا
لِرُسُلِہِمۡ لَنُخۡرِجَنَّکُمۡ مِّنۡ اَرۡضِنَاۤ
اَوۡ لَتَعُوۡدُنَّ فِیۡ مِلَّتِنَا ؕ فَاَوۡحٰۤی اِلَیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ
لَنُہۡلِکَنَّ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ لَنُسۡکِنَنَّـکُمُ الۡاَرۡضَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ؕ ذٰلِکَ لِمَنۡ
خَافَ مَقَامِیۡ وَ خَافَ وَعِیۡدِ ﴿ ﴾
Dan berkata orang-orang
yang kafir kepada rasul-rasul mereka: “Niscaya kami akan mengusir kamu dari kota kami,
atau kamu harus kembali kepada agama
kami.” فَاَوۡحٰۤی اِلَیۡہِمۡ رَبُّہُمۡ
لَنُہۡلِکَنَّ الظّٰلِمِیۡنَ -- Maka Rabb (Tuhan)
mereka mewahyukan kepada mereka: “Niscaya Kami akan membinasakan orang-orang yang zalim itu. وَ لَنُسۡکِنَنَّـکُمُ الۡاَرۡضَ مِنۡۢ بَعۡدِہِمۡ -- “Dan niscaya
Kami akan menempatkan kamu di bumi ini
setelah mereka. ذٰلِکَ لِمَنۡ
خَافَ مَقَامِیۡ وَ خَافَ وَعِیۡدِ --
Inilah janji bagi siapa
yang takut akan martabat-Ku dan takut
ke-pada ancaman-Ku.” (Ibrahim [14]:14-15).
Hakikat Pembacaan Shalawat
Untuk Nabi Besar Muhammad Saw.
yang Dihubungkan Dengan Nabi Ibrahim a.s.
& Pengabulan Shalawat
Allah Swt. telah memerintahkan orang-orang
beriman untuk senantiasa menyampaikan shalawat
kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
اِنَّ اللّٰہَ
وَ مَلٰٓئِکَتَہٗ یُصَلُّوۡنَ عَلَی
النَّبِیِّ ؕ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا صَلُّوۡا عَلَیۡہِ وَ سَلِّمُوۡا
تَسۡلِیۡمًا ﴿﴾
Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah untuknya dan mintalah selalu doa keselamatan baginya.
(Al-Ahzāb
[33]:57).
Ada pun ucapan shalawat yang diajarkan Nabi
Besar Muhammad saw. kepada umat Islam adalah:
“Allāhumma shalli ‘alā Muhammad wa ‘alā āli
Muhammad kama shalaita ‘alā Ibrāhim wa ‘alā āli Ibrahim Innaka Hamīdun- Majīd.
(Ya Allah,
anugerahkanlah shalawat kepada Muhammad
dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau menganugerahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim).
Dengan
demikian jelaslah hikmah mengapa
pembacaan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad Saw. dihubungkan dengan Nabi Ibrahim a.s. bukan dengan para rasul Allah lainnya, karena Allah Swt. telah menganugerahkan kenabian (nubuwwat/risalat) bukan hanya
kepada Nabi Ibrahim a.s. saja tetapi juga
kepada anak-cucu beliau a.s., baik
dari kalangan Bani Israil mau pun Bani Isma’il sesuai janji Allah Swt. (QS.2:125-130; QS.5:21).
Jadi, pada hakikatnya pengutusan Rasul Akhir Zaman yaitu Masih Mau’ud a.s. atau misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(QS.43:58) sebagai “burung”
Nabi Ibrahim a.s. keempat (QS.2:261) yang muncul di kalangan umat Islam (QS.62:3-4) --
bukan kedatangan kedua kali Nabi Isa Ibnu Maryam Israili a.s. dari langit
-- pada hakikatnya hal tersebut merupakan
pengabulan pembacaan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad saw.., sebab Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. Israili selain
telah wafat (QS.3:145; QS.21:35-36), juga misi kerasulannya
hanya untuk Bani Israil saja
(QS.3:46-50; QS.61:7), firman-Nya:
وَ
مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ
الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ
رَفِیۡقًا ﴿ؕ۶۹﴾ ذٰلِکَ
الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang
Allah memberi nikmat kepada mereka
yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang
shalih, dan mereka itulah
sahabat yang sejati. Itulah karunia
dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa [4]:70-71).
Keistimewaan Martabat Ruhani Nabi Besar Muhammad saw.
Ayat ini sangat
penting sebab ia menerangkan semua jalur kemajuan
ruhani yang terbuka bagi kaum Muslimin. Keempat martabat keruhanian — nabi-nabi,
shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih — kini
semuanya dapat dicapai hanya dengan
jalan mengikuti Nabi Besar Muhammmad saw. (QS.3:32).
Hal ini merupakan kehormatan khusus bagi Nabi Besar Muhammmad saw. (QS.3:32). semata. Tidak ada nabi lain menyamai beliau dalam
perolehan nikmat ini. Kesimpulan itu lebih lanjut ditunjang oleh ayat yang
membicarakan nabi-nabi secara umum
dalam surah Al-Hadīd dan mengatakan:
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah
dan para rasul-Nya, mereka adalah orang-orang shiddiq dan saksi-saksi di sisi Rabb
(Tuhan) mereka” (QS.57: 20).
Apabila kedua ayat ini
dibaca bersama-sama maka kedua ayat itu berarti bahwa, kalau para pengikut nabi-nabi lainnya dapat
mencapai martabat shiddiq, syahid, dan shalih dan tidak lebih tinggi dari itu, maka pengikut Nabi Besar Muhammmad saw. dapat naik ke martabat nabi juga.
Kitab “Bahr-ul-Muhit”
(jilid III, hlm. 287) menukil Al-Raghib yang mengatakan: “Tuhan telah membagi orang-orang beriman
dalam empat golongan dalam ayat ini, dan telah menetapkan bagi mereka
empat tingkatan, sebagian di antaranya lebih rendah dari yang lain, dan Dia
telah mendorong orang-orang beriman sejati agar jangan tertinggal dari keempat
tingkatan ini.” Dan membubuhkan bahwa: “Kenabian
itu ada dua macam: umum dan khusus. Kenabian khusus, yakni kenabian yang
membawa syariat, sekarang tidak dapat dicapai lagi; tetapi kenabian yang umum
masih tetap dapat dicapai.”
Kenyataan tersebut terjadi karena Nabi
Besar Muhammad saw. merupakan “suri-teladan”
paling sempurna bagi orang-orang yang ingin meraih kecintaan dan maghfirah
(pengampunan) Allah Swt. (QS.3:32), firman-Nya:
لَقَدۡ کَانَ
لَکُمۡ فِیۡ رَسُوۡلِ اللّٰہِ اُسۡوَۃٌ حَسَنَۃٌ لِّمَنۡ کَانَ یَرۡجُوا اللّٰہَ وَ
الۡیَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَ ذَکَرَ
اللّٰہَ کَثِیۡرًا ﴿ؕ﴾
Sungguh dalam
diri Rasulullah benar-benar terdapat suri
teladan yang sebaik-baiknya bagi
kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan bagi yang banyak mengingat Allah. (Al-Ahzāb [33]:22).
Keampuhan “Senjata Pena” Masih Mau’ud a.s. & Hujjah Nabi Ibrahim a.s. Membungkan Mulut Raja Namrud yang
Takabbur
Ada pun “senjata” yang digunakan oleh Masih Mau’ud a.s. di Akhir Zaman adalah “senjata
pena”, sebab “senjata” yang
digunakan pihak lawan Islam pun – terutama dari kalangan agama Kristen -- adalah “senjata pena” berupa penerbitan berbagai literature keagamaan yang
jumlah yang tidak mampu ditandingi
oleh literature yang diterbitkan oleh
umat Islam, sesuai dengan Tanda-tanda Akhir Zaman yang dikemukakan firman-Nya berikut ini: وَ اِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتۡ -- “dan apabila buku-buku akan disebar-luaskan” (At-Takwir [81]:11).
Isyarat ayat ini nampaknya ditujukan kepada
penyebarluasan surat-surat kabar, majalah-majalah, dan juga buku-buku, juga ditujukan kepada sistem perpustakaan dan taman-taman bacaan serta tempat-tempat dan sarana-sarana lainnya
serupa itu untuk penyiaran ilmu
pengetahuan di Akhir Zaman ini yang
dilakukan secara khusus oleh bangsa-bangsa
barat yang beragama Kristen dalam
mendukung penyebaran agama mereka ke seluruh dunia.
Jadi, perlawanan
yang sepadan terhadap serangan
dengan “senjata pena” yang dilakukan
terhadap kesempurnaan agama Islam
(Al-Quran) dan kesucian akhlak dan ruhani
Nabi Besar Muhammad saw. maka di Akhir Zaman ini pun hal yang sama dilakukan oleh Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah
-- Masih Mau’ud a.s. – yaitu dengan “senjata
pena” yang terbukti sangat ampuh, sebab Allah Swt. melalui wahyu-Nya
telah memberi beliau gelar “Sulthan-ul-Qalam”
(Raja Pena), dan dalam wahyu Ilahi lainnya kehebatan “pena” (tulisan) beliau diibaratkan pedang
“Dzulfiqar” milik Sayyidina Ali bin
Abi Thalib r.a..
Mengapa demikian?
Sebab tulisan-tulisan Masih Mau’ud a.s. bukan saja menangkis
“serangan” mereka tetapi juga “menyerang”
mereka dan membuatnya tak berdaya dan
bungkam, persis
seperti kesuksesan da’wah Tauhid Ilahi
yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. ketika berdialog dengan raja Namrud dalam firman-Nya
berikut ini:
اَلَمۡ تَرَ اِلَی الَّذِیۡ حَآجَّ
اِبۡرٰہٖمَ فِیۡ رَبِّہٖۤ اَنۡ اٰتٰىہُ اللّٰہُ الۡمُلۡکَ ۘ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّیَ الَّذِیۡ یُحۡیٖ وَ
یُمِیۡتُ ۙ قَالَ اَنَا اُحۡیٖ وَ اُمِیۡتُ ؕ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ فَاِنَّ اللّٰہَ یَاۡتِیۡ بِالشَّمۡسِ مِنَ
الۡمَشۡرِقِ فَاۡتِ بِہَا مِنَ الۡمَغۡرِبِ فَبُہِتَ الَّذِیۡ کَفَرَ ؕ وَ اللّٰہُ
لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾ۚ
Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang membantah Ibrahim
mengenai Rabb-nya (Tuhan-nya) karena Allah
telah memberi kerajaan kepadanya? Ketika Ibrahim berkata: ”Rabb-ku (Tuhan-ku) adalah Yang
menghidupkan dan mematikan.” Ia yakni
Namrud menjawab: “Aku pun berkuasa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat!”
Lalu terdiam kebingungan orang
yang kafir itu, dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Baqarah [2]:259).
Nabi Ibrahim a.s. itu seorang pemberantas-berhala besar. Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang,
dewa utama mereka ialah Madruk yang
asalnya dewa pagi dan matahari musim semi (Encyclopaedia
Biblica dan Encyclopaedia of Religions and
Ethics. II. 296). Mereka percaya bahwa semua
kehidupan bergantung pada matahari.
Nabi Ibrahim
a.s. dengan bijaksana meminta raja orang musyrik itu –
yakni Namrud (Nimrod) -- seandainya
benar mengaku dapat mengatur hidup dan mati,
agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu.
Raja orang kafir itu pun kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan tak dapat menerima tantangan Nabi
Ibrahim a.s untuk menyuruh matahari beredar dari barat
ke timur; sebab hal demikian akan membatalkan pengakuannya sendiri sebagai pengatur hidup dan mati,
dan bila ia mengatakan dapat berbuat
demikian maka itu berarti ia menguasai matahari tetapi niscaya
merupakan suatu penghinaan besar pada
pandangan kaumnya, penyembah matahari.
Dengan demikian ia sama sekali menjadi bingung
dan tidak tahu apa yang harus dikatakan
olehnya.
Lontaran “Fitnah” dan “Hoax” dan Kezaliman Terhadap
Para Pengikut Masih Mau’ud
a.s.
Demikian pula berbagai macam hujjah (dalil-dalil) yang dikemukakan
oleh Mirza Ghulam Ahmad a.s.
dalam membuktikan kesempurnaan agama Islam (Al-Quran) dan kesucian akhlak dan ruhani
Nabi Besar Muhammad saw. sangat
luar-biasa, sehingga membuat “bungkam”
para penentang beliau, dan “serangan” mereka pun kemudian berubah
menjadi berbagai bentuk fitnah -- yakni HOAX
-- sehingga di Akhir
Zaman ini umumnya masyarakat luas
memperoleh informasi yang sesat dan menyesatkan mengenai misi
suci beliau a.s. dan Jemaat Muslim
Ahmadiyah sehingga mengakibatkan
terjadinya berbagai bentuk kezaliman terhadap
Jemaat Muslim Ahmadiyah,
sebagaimana Sunnatullah yang berlaku
terhadap para rasul Allah dan orang-orang yang beriman kepadanya.
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 4 April
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar