Bismillaahirrahmaanirrahiim
“ARBA’IN”
ARBA’IN LI-ITMÂMIL HUJJAH ‘ALAL MUKHALLIFÎN
(Empat Puluh Risalah, Menyempurnakan Argumen Bagi Para
Penentang)
Karya
Mirza Ghulam Ahmad
a.s.
(Al-Masih Al-Mau’ud a.s.
-- Al-Masih yang Dijanjikan a.s.)
Bagian 11
ARBA’ÎN KE II
KEPENGECUTAN BANI ISRAIL
MENOLAK MEMASUKI “NEGERI YANG DIJANJIKAN” &
PADA
MASA “FATRAH” (MASA JEDA) PENGUTUSAN RASUL ALLAH UMAT ISLAM SANGAT BANYAK
TETAPI SEPERTI “BUIH” (BUSA)
Oleh
Ki Langlang Buana
Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan topik Arba’in II sehubungan dengan kesedihan Rasul Akhir Zaman dalam firman-Nya
berikut ini:
وَ قَالَ الرَّسُوۡلُ
یٰرَبِّ اِنَّ قَوۡمِی اتَّخَذُوۡا ہٰذَا الۡقُرۡاٰنَ مَہۡجُوۡرًا ﴿﴾ وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ
عَدُوًّا مِّنَ الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ وَ کَفٰی بِرَبِّکَ ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا ﴿﴾
Dan Rasul
itu berkata: “Ya Rabb-ku (Tuhan-ku),
sesungguhnya kaumku te-lah menjadikan
Al-Quran ini sesuatu yang
telah ditinggalkan. وَ کَذٰلِکَ جَعَلۡنَا لِکُلِّ نَبِیٍّ عَدُوًّا مِّنَ
الۡمُجۡرِمِیۡنَ ؕ -- Dan demikianlah
Kami telah menjadikan musuh bagi
tiap-tiap nabi dari antara orang-orang yang berdosa, وَ کَفٰی بِرَبِّکَ
ہَادِیًا وَّ نَصِیۡرًا -- dan cukuplah
Rabb (Tuhan) engkau sebagai pemberi
petunjuk dan penolong. (Al-Furqān
[25]:31-32).
Arba’in II & Kepengecutan
Bani Israil
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Nahmaduhu wa
nushalli ‘alā rasūlihil-karīm
Rabbi-
ghfir dzunûbanâ wa-hdi qulūbanā innaka aladzdzu- asy-yā-i an-yusyqā zur-‘atan- min ‘irfānika wa lā yusyqā illā bi-fadhlika wa-
mtinānika. Rabbi inniy asykū ilā hadharatika min- mushībatin nazalat ‘alā hādzihil- ummati min
anwā-‘i-lfitani wat- tafarruqati.
Rabbi adrik fa-innal-qawma mudrakûna.
“Ya Rabb (Tuhan), ampunilah dosa-dosa kami dan bimbinglah hati kami,
sesungguhnya Engkau adalah sesuatu yang
paling lezat untuk diminum seteguk dari makrifat Engkau, dan tidak bisa diminum
kecuali melalui karunia dan anugerah Engkau. Ya Rabb (Tuhan), sesungguhnya aku
mencurahkan ke hadhirat Engkau musibah yang turun atas umat ini berupa
bencana-bencana fitnah dan perpecahan. Ya Rabb (Tuhan), tangkaplah [mereka]
karena sesungguhnya kaumku dalam keadaan tertangkap.”
Oleh
karena tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Ta’ala adalah untuk beribadah dan mengenal-Nya,
maka dari itu Allah menghendaki agar
manusia berusaha menambah kemajuan dalam beribadah
dan mengenal-Nya.
Jika datang
suatu era (zaman) baru, kebanyakan
makhluk gejolak hatinya condong kepada dunia, kecintaan terhadap dunia semakin melekat di hati, rasa kasih-sayang terhadapnya (dunia) mencengkramnya, sedangkan kecintaan kepada Allah dan keikhlasan terlepas dari hati. Jalan
untuk mengenal Khaliq (Tuhan
Pencipta) menjadi hilang dan Tanda-tanda
Tuhan yang telah dizahirkan
melalui nabi-nabi-Nya yang suci
telah dianggap sebagai dongeng belaka.
Tidak ada lagi usaha untuk membersihkannya, tak ada lagi jalinan hubungan dengan
Allah, dan tak ada lagi perhubungan
di dalam hati, bahkan sedikitpun tak
ada lagi di dalam hati perasaan cinta
akan keagungan Tuhan. Atau, anggapan
mereka merupakan suatu kedustaan belaka yang dijadikan perolok-olokan, sebagaimana sekarang ini para necri (penganut faham naturalisme)
dan Brahma, yang kebanyakan mereka beranggapan demikian.
Pendek kata, pada suatu masa dimana cahaya
Tuhan mulai pudar maka akhirnya
ribuan manusia tersesat ke
dalam kezaliman (keaniayaan), bahkan mereka menjadi penganut animisme. Dunia penuh dengan kelalaian dan dosa-dosa,
maka di saat itu gairat kemarahan Tuhan dan kegagahan Tuhan serta ‘izat-Nya
(kemuliaan-Nya) bangkit kembali menampakkan diri ke hadapan manusia.”
Paparan Masih Mau’ud a.s. mengenai semakin melekatnya hati manusia
kepada kehidupan duniawi dengan
segala kenikmatannya yang fatamorgana serta mereka semakin melupakan Allah Swt. dan tujuan
utama diciptakannya oleh Allah Swt. – yakni untuk beribadah kepada-Nya (QS.51:57) --
sesuai dengan firman-Nya:
اَلَمۡ یَاۡنِ لِلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡ
تَخۡشَعَ قُلُوۡبُہُمۡ لِذِکۡرِ
اللّٰہِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الۡحَقِّ ۙ وَ
لَا یَکُوۡنُوۡا کَالَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ مِنۡ قَبۡلُ فَطَالَ
عَلَیۡہِمُ الۡاَمَدُ فَقَسَتۡ
قُلُوۡبُہُمۡ ؕ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ
فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ
مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ ﴿﴾
Apakah belum sampai waktu bagi orang-orang yang
beriman, bahwa hati mereka tunduk
untuk mengingat Allah dan mengingat
kebenaran yang telah turun kepada
mereka, dan mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang diberi kitab
sebelumnya, maka zaman kesejahteraan menjadi
panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras, dan kebanyakan
dari mereka menjadi durhaka? اِعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰہَ
یُحۡیِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ
لَعَلَّکُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ -- Ketahuilah, bahwasanya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.
Sungguh Kami telah menjelaskan
Tanda-tanda kepada kamu supaya kamu
mengerti. (Al-Hadīd [57]:17-18).
Kepengecutan Bani Israil & Keperwiraan Para Sahabat Nabi Besar Muhammad Saw.
Sehubungan doa yang dipanjatkan Masih
Mau’ud a.s. di awal Arba’in II tersebut ada kalimat yang juga digunakan dalam Al-Quran berkenaan
dengan Bani Israil ketika dikejar
oleh Fir’aun dan bala-tentaranya, yaitu kata “mudrakūna”
(tertangkap):
“Rabbi adrik
fa-innal-qawma mudrakûna -- Ya Rabb
(Tuhan), tangkaplah [mereka] karena sesungguhnya kaumku dalam keadaan
tertangkap.”
Firman-Nya:
فَاَتۡبَعُوۡہُمۡ مُّشۡرِقِیۡنَ ﴿﴾ فَلَمَّا
تَرَآءَ الۡجَمۡعٰنِ قَالَ اَصۡحٰبُ
مُوۡسٰۤی اِنَّا لَمُدۡرَکُوۡنَ ﴿ۚ﴾ قَالَ کَلَّا ۚ اِنَّ مَعِیَ
رَبِّیۡ سَیَہۡدِیۡنِ ﴿﴾ فَاَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰی مُوۡسٰۤی اَنِ اضۡرِبۡ بِّعَصَاکَ الۡبَحۡرَ ؕ فَانۡفَلَقَ فَکَانَ کُلُّ
فِرۡقٍ کَالطَّوۡدِ الۡعَظِیۡمِ ﴿ۚ﴾
Maka lasykar-lasykar
Fir’aun menyusul mereka pada waktu matahari terbit. Lalu tatkala
kedua lasykar itu dapat melihat satu sama lain, قَالَ اَصۡحٰبُ مُوۡسٰۤی
اِنَّا لَمُدۡرَکُوۡنَ -- pengikut-pengikut Musa berkata: “Sesungguhnya kita pasti akan tertangkap!” قَالَ کَلَّا ۚ اِنَّ مَعِیَ
رَبِّیۡ سَیَہۡدِیۡنِ -- Musa berkata:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya Rabb-ku (Tuhan-ku) besertaku, segera Dia akan
menunjukkan jalan keselamatan.” فَاَوۡحَیۡنَاۤ اِلٰی
مُوۡسٰۤی اَنِ اضۡرِبۡ بِّعَصَاکَ
الۡبَحۡرَ -- Maka Kami mewahyukan kepada Musa: “Pukullah
laut dengan tongkat engkau.”
فَانۡفَلَقَ
فَکَانَ کُلُّ فِرۡقٍ کَالطَّوۡدِ الۡعَظِیۡمِ -- lalu setiap bagiannya nampak seperti
gunung yang besar. (Asy-Syu’arā
[26]:61-64).
Para sahabat Nabi
Musa a.s. nampaknya mempunyai keimanan yang sangat lemah.
Keadaan ini jelas juga dari QS.5:22-23 ketika mereka menolak ajakan Nabi Musa a.s. untuk memasuki Kanaan – “negeri yang dijanjikan” -- dan ketika mereka kembali menyembah
patung anak sapi buatan Samiri pada
saat ditinggal Nabi Musa a.s. selama 40
hari untuk berkhalwat di gunung Thur padahal Nabi Harun a.s.
telah melarang mereka (QS.7:143-152; QS.20:84-92).
Bandingkanlah sikap pengikut-pengikut
Nabi Musa a.s. yang tidak
punya rasa malu lagi pengecut itu dengan pengorbanan tulus-ikhlas dan hampir-hampir tak masuk akal dari para sahabat
Nabi Besar Muhammad saw. yang senantiasa mendambakan melompat ke dalam rahang kematian bila ada
sedikit saja isyarat aba-aba dari Junjungan
mereka.
Ketika
Nabi Besar Muhammad saw. bersama sejumlah kecil para sahabat
r.a. dengan perlengkapan perang
yang sangat darurat hendak bergerak
ke Badar menghadapi balatentara Mekkah pimpinan Abu Jahal dkk yang bilangannya jauh lebih besar
serta persenjataannya lebih lengkap, beliau saw. meminta saran (musyawarah) mereka mengenai
situasi itu.
Atas permintaan musyawarah
Nabi Besar Muhammad saw. tersebut salah seorang dari para sahabat golongan Anshar bangkit
lalu menjawab Nabi Besar Muhammad saw. dengan kata-kata yang akan selamanya
terkenang:
“Kami
tidak akan berkata kepada Anda seperti dikatakan oleh pengikut-pengikut Nabi
Musa a.s.: “Pergilah engkau bersama Tuhan engkau kemudian berperanglah engkau
berdua, sesungguhnya kami hendak duduk-duduk saja di sini.” Kebalikannya, wahai
Rasulullah, kami senantiasa beserta engkau dan kami akan bertempur dengan musuh
di sebelah kanan dan di sebelah kiri engkau dan di hadapan engkau dan di belakang
engkau, dan kami mengharap dari Allah agar engkau akan menyaksikan kami apa
yang akan menyejukkan mata engkau.”
Keperwiraan Thalut (Gideon) dan Pasukannya yang Terpilih
Demikianlah keadaan keperwiraan serta kesetiaan umat Islam di
zaman Nabi Besar Muhammad saw. sehingga
menggenapi kebenaran firman Allah Swt. berikut ini berkenaan dengan Thalut (Gedion) dan sisa
pasukannya yang terpilih membuktikan
kebenarannya: ؕ قَالَ الَّذِیۡنَ
یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوا اللّٰہِ
ۙ -- “Tetapi orang-orang yang meyakini bahwa sesungguhnya mereka akan menemui Allah berkata: کَمۡ مِّنۡ فِئَۃٍ قَلِیۡلَۃٍ غَلَبَتۡ
فِئَۃً کَثِیۡرَۃًۢ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ -- “Berapa
banyak golongan yang sedikit telah
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, وَ اللّٰہُ
مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ -- dan
Allah beserta orang-orang yang sabar”, firman-Nya:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوۡتُ
بِالۡجُنُوۡدِ ۙ قَالَ اِنَّ اللّٰہَ مُبۡتَلِیۡکُمۡ بِنَہَرٍ ۚ
فَمَنۡ شَرِبَ مِنۡہُ فَلَیۡسَ مِنِّیۡ ۚ وَ مَنۡ لَّمۡ یَطۡعَمۡہُ فَاِنَّہٗ
مِنِّیۡۤ اِلَّا مَنِ اغۡتَرَفَ غُرۡفَۃًۢ
بِیَدِہٖ ۚ فَشَرِبُوۡا مِنۡہُ اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ فَلَمَّا جَاوَزَہٗ
ہُوَ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ ۙ
قَالُوۡا لَا طَاقَۃَ لَنَا الۡیَوۡمَ بِجَالُوۡتَ وَ جُنُوۡدِہٖ ؕ قَالَ
الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ مُّلٰقُوا اللّٰہِ ۙ کَمۡ
مِّنۡ فِئَۃٍ قَلِیۡلَۃٍ غَلَبَتۡ فِئَۃً
کَثِیۡرَۃًۢ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ
اللّٰہُ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿﴾
Maka tatkala
Thalut berangkat dengan balatentaranya ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan mencobai kamu dengan sebuah sungai, lalu barangsiapa
minum darinya maka ia bukan
dariku, dan barangsiapa tidak pernah mencicipinya maka sesungguhnya
ia dariku, kecuali orang yang
menciduk seciduk dengan
tangannya.” Tetapi mereka minum darinya kecuali sedikit dari mereka, lalu tatkala ia dan orang-orang yang beriman besertanya telah menyeberanginya mereka
berkata: “Tidak ada kemampuan pada kami
hari ini untuk menghadapi Jalut dan balatentaranya.” قَالَ الَّذِیۡنَ یَظُنُّوۡنَ اَنَّہُمۡ
مُّلٰقُوا اللّٰہِ ۙ کَمۡ مِّنۡ فِئَۃٍ قَلِیۡلَۃٍ غَلَبَتۡ
فِئَۃً کَثِیۡرَۃًۢ بِاِذۡنِ اللّٰہِ ؕ وَ اللّٰہُ مَعَ الصّٰبِرِیۡنَ -- Tetapi orang-orang
yang meyakini bahwa sesungguhnya mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak golongan yang sedikit
telah mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Al-Baqarah
[2]:250).
Kata nahar
dalam ayat: قَالَ اِنَّ اللّٰہَ مُبۡتَلِیۡکُمۡ بِنَہَرٍ -- “Sesungguhnya Allah akan mencobai kamu dengan sebuah sungai” berarti pula
“limpah-ruah”. Dalam pengertian
tersebut ayat ini berarti bahwa mereka akan diuji
oleh “limpah-ruah” yakni kelimpah-ruahan duniawi, mereka yang menyerah kepada godaannya
biasanya menjadi tidak mampu
melaksanakan pekerjaan Allah Swt., tetapi
mereka yang menggunakannya dengan mengekang
hawa nafsu biasanya meraih kemenangan.
Banyak Tetapi
Seperti “Buih” (Busa)
Demikian pula keadaan umat Islam selepas kewafatan
para Khalifatul Rasyidin, seiring
dengan berkembangnya kekuasaan duniawi mereka, kecenderungan mereka kepada kesenangan duniawi pun semakin memperlemah keadaan akhlak, ruhani
umat dan keperwiraan
umat Islam, sehingga akhirnya Allah Swt.
– sebagaimana yang terjadi pada Bani
Israil (QS.17:5-9) -- menghukum
mereka yang pertama melalui serbuan
dahsyat bala tentara Mongol dan Tartar pimpinan Hulaku Khan
– cucu Jenghis Khan -- dengan
menghancur-luluhkan kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu
pengetahuan umat Islam dinasti Bani Abbas dan dikabarkan sebanyak
1.800.000 orang Muslim terbunuh.
Pada hakikatnya dua kali hukuman Allah Swt. kepada Bani
Israil (QS.17:5-9) terjadi akibat kedurhakaan mereka kepada Nabi Daud a.s. dan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. sehingga kedua rasul Allah tersbut telagh mengutuk orang-orang kafir dari kalangan
bani Israil tersebut (QS.5:79-81).
Ada pun hukuman
Allah Swt. yang kedua bagi umat Islam
(Bani Isma’il) terjadi di Akhir Zaman
ini melalui merajalelanya Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog)
-- yaitu bangsa-bangsa Kristen dari barat (Wahyu 20:7-10;
QS.18:95-102; QS.21:97) -- mulai abad 17 Masehi – setelah mereka
dilepaskan dari masa “pemenjaraannya” selama 1000 tahun (Wahyu 20:7-10).
Sehubungan dengan
keadaan umat Islam – setelah masa
pemerintahan para Khulafatur- Rasyidin -- yang secara kuantitas bertambah besar
(banyak) tetapi secara kualitas mereka semakin
jauh dari sebutan “umat terbaik” (QS.2:144; QS.3:111), hal
tersebut telah dinubuatan Nabi Besar Muhammad Saw.:
Diriwayatkan
Tauban r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Setelah aku wafat, setelah lama kutinggalkan, umat Islam akan lemah. Di
atas kelemahan itu orang kafir akan menyerbu
mereka bagai orang yang menyerbu makanan dalam piring dan mengajak orang
lain makan bersama”. Maka para sahabat
r.a. pun bertanya: “Apakah ketika
itu umat Islam telah lemah dan musuh
sangat kuat?” Sabda beliau saw.: “Bahkan
pada masa itu mereka lebih ramai
(banyak) tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka
ibarat buih di laut.” Sahabat
bertanya lagi: “Mengapa seramai itu
tetapi seperti buih di laut?” Jawab
Rasulullah saw., “Karena ada dua
penyakit, yaitu mereka ditimpa penyakit al-Wahn.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah itu al-Wahn?” Rasulullah saw.
bersabda: “Cinta kepada dunia dan takut kepada kematian.” (Riwayat Abu Dawud no.4297; Ahmad
V/278. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah).
Sehubungan dengan penyakit al-wahn
yakni “cinta kepada dunia dan
takut kepada kematian” yang terjadi di kalangan umat Islam tersebut,
sebelumnya terjadi juga di kalangan Bani Israil. Yaitu ketika Allah Swt.
memilih Thalut (Gideon) raja Bani
Israil yang kemudian diprotes keras oleh para pemuka
Bani Israil dengan alasan bahwa Thalut
(Gideon) “tidak memiliki kekayaan duniawi
yang berlimpah” seperti mereka, berikut
firman Allah Swt. mengenai hal tersebut kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
اَلَمۡ تَرَ اِلَی الۡمَلَاِ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ مِنۡۢ بَعۡدِ مُوۡسٰی ۘ
اِذۡ قَالُوۡا لِنَبِیٍّ لَّہُمُ ابۡعَثۡ لَنَا مَلِکًا نُّقَاتِلۡ فِیۡ
سَبِیۡلِ اللّٰہِ ؕ قَالَ ہَلۡ عَسَیۡتُمۡ
اِنۡ کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِتَالُ اَلَّا تُقَاتِلُوۡا ؕ قَالُوۡا وَ مَا
لَنَاۤ اَلَّا نُقَاتِلَ فِیۡ سَبِیۡلِ
اللّٰہِ وَ قَدۡ اُخۡرِجۡنَا مِنۡ دِیَارِنَا وَ اَبۡنَآئِنَا ؕ فَلَمَّا کُتِبَ
عَلَیۡہِمُ الۡقِتَالُ تَوَلَّوۡا اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ
عَلِیۡمٌۢ بِالظّٰلِمِیۡنَ ﴿﴾
Apakah engkau tidak melihat mengenai para pemuka Bani Israil sesudah Musa,
ketika mereka berkata kepada seorang
nabi mereka: “Angkatlah bagi kami
seorang raja, supaya kami dapat
berperang di jalan Allah.” Ia berkata: ”Mungkin saja kamu tidak akan berperang jika berperang itu diwajibkan atas kamu?” Mereka berkata: “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan
Allah padahal sungguh kami telah diusir dari rumah-rumah kami
dan dipisahkan dari anak-anak
kami?” فَلَمَّا
کُتِبَ عَلَیۡہِمُ الۡقِتَالُ تَوَلَّوۡا اِلَّا قَلِیۡلًا مِّنۡہُمۡ ؕ -- Tetapi tatkala berperang
ditetapkan atas mereka, mereka berpaling kecuali sedikit dari mereka, وَ اللّٰہُ
عَلِیۡمٌۢ بِالظّٰلِمِیۡنَ -- dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah [2]:247).
Kemajuan Bani Israil Sebatas Ucapan
(Pernyataan)
Peristiwa tersebut menunjukkan kemajuan dalam keadaan kaum Bani Israil pada saat seperti
dituturkan ayat ini dibandingkan dengan zaman
Nabi Musa a.s. sendiri. Dalam
QS.5:25 Al-Quran menuturkan bahwa ketika Nabi Musa a.s. memerintahkan
pengikut-pengikut beliau untuk memasuki Kanaan
– “negeri yang dijanjikan” – dan memerangi musuh di jalan Allah, mereka
menjawab: “Pergilah engkau bersama Tuhan engkau, kemudian berperanglah
kalian berdua; sesungguhnya kami hendak duduk-duduk saja di sini!”
Sebaliknya, dalam
ayat ini mereka disebutkan telah berkata: “Mengapakah kami tidak akan
berperang di jalan Allah jika kami telah diusir dari rumah-rumah kami dan
dipisahkan dari anak-anak kami?” Tetapi, perbaikan sikap itu hanya di
mulut saja dan tidak dalam kenyataan,
sebab ketika saat pertempuran yang
sebenarnya tiba, banyak dari antara mereka bimbang
dan menolak untuk bertempur.
Sebabnya adalah pada waktu itu adalah keadaan
duniawi mereka jauh lebih baik dibandingkan ketika mereka meminta kepada nabi mereka untuk mengangkat seorang raja untuk memimpin mereka berperang melawan musuh mereka.
Dengan demikian,
peristiwa itu merupakan peringatan keras
kepada kaum Muslimin untuk waspada agar jangan menempuh jalan yang serupa itu. Selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اللّٰہَ قَدۡ بَعَثَ لَکُمۡ طَالُوۡتَ
مَلِکًا ؕ قَالُوۡۤا اَنّٰی یَکُوۡنُ لَہُ
الۡمُلۡکُ عَلَیۡنَا وَ نَحۡنُ اَحَقُّ بِالۡمُلۡکِ مِنۡہُ وَ لَمۡ یُؤۡتَ سَعَۃً
مِّنَ الۡمَالِ ؕ قَالَ اِنَّ
اللّٰہَ اصۡطَفٰىہُ عَلَیۡکُمۡ وَ زَادَہٗ
بَسۡطَۃً فِی الۡعِلۡمِ وَ الۡجِسۡمِ ؕ وَ اللّٰہُ یُؤۡتِیۡ مُلۡکَہٗ مَنۡ
یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ
﴿﴾ وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ
اٰیَۃَ مُلۡکِہٖۤ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ التَّابُوۡتُ فِیۡہِ سَکِیۡنَۃٌ مِّنۡ
رَّبِّکُمۡ وَ بَقِیَّۃٌ مِّمَّا تَرَکَ
اٰلُ مُوۡسٰی وَ اٰلُ ہٰرُوۡنَ تَحۡمِلُہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ
لَاٰیَۃً لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾٪
Dan nabi mereka berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat
Thalut menjadi raja bagi kamu.” Mereka berkata: “Bagaimana
ia bisa memiliki kedaulatan atas kami,
padahal kami lebih berhak memiliki
kedaulatan daripadanya, karena ia tidak pernah diberi harta yang
berlimpah-ruah?” Ia berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya sebagai raja atas kamu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan
badan.” Dan Allah
memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:248).
Thalut adalah nama sifat seorang raja Bani Israil yang hidup kira-kira
200 tahun sebelum Nabi Dawud a.s. dan kira-kira sejumlah tahun yang sama sesudah Nabi Musa a.s. Beberapa
ahli tafsir Al-Quran telah keliru mempersamakan Thalut dengan Saul.
Penjelasan Al-Quran lebih cocok dengan Gideon (Hakim-hakim fasal-fasal 6-8) daripada dengan Saul. Gideon hidup kira-kira 1250 sebelum
Masehi dan Bible menyebutnya
“pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim
6:12) tiada lain melainkan Thalut.
Persamaan Jumlah Pasukan Thalut Dengan Jumlah Para Sahabat Dalam Perang Badar
Hal ini cocok dengan keterangan yang diberikan dalam ayat yang
dibahas ini tentang Thalut. Apa yang
menjadikan persamaan Thalut dengan Gideon lebih pasti lagi ialah memang di zaman Gideon -- dan bukan di zaman Saul
-- kaum Bani Israil mendapat cobaan
dengan perantaraan air (QS.2:249),
dan gambaran yang diberikan oleh Bible (Hakim-hakim
7:4-7) tentang cobaan itu memang
sama dengan gambaran Al-Quran. Dari Hakim-hakim 7: 6-7 kita mengetahui
bahwa sesudah cobaan tersebut di
atas, orang-orang yang tinggal bersama-sama dengan Gideon hanya ada 300 orang.
Sangat menarik untuk diperhatikan, yaitu seorang sahabat Nabi Besar
uhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kami berjumlah 313 orang dalam perang Badar,
dan jumlah itu sesuai dengan jumlah orang yang mengikuti Thalut (Tirmidzi, bab Siyar).
Hadits itu pun mendukung kesimpulan bahwa Thalut
itu, tiada lain selain Gideon.
Apa yang selanjutnya menguatkan persamaan
antara Thalut dengan Gideon ialah, kata itu berasal dari
akar-kata yang dalam bahasa Ibrani
berarti “menumbangkan” (Encyclopaedia Biblica) atau “menebang” (Jewish Encyclopaedia). Jadi, Gideon berarti “orang yang menebas musuh hingga merobohkannya ke tanah”, dan Bible
sendiri mengatakan mengenai Gideon
sebagai “pahlawan yang perkasa” (Hakim-hakim 6:12).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ
اٰیَۃَ مُلۡکِہٖۤ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ التَّابُوۡتُ فِیۡہِ سَکِیۡنَۃٌ مِّنۡ
رَّبِّکُمۡ وَ بَقِیَّۃٌ مِّمَّا تَرَکَ
اٰلُ مُوۡسٰی وَ اٰلُ ہٰرُوۡنَ تَحۡمِلُہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ
لَاٰیَۃً لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾٪
Dan nabi mereka berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya tanda kedaulatannya ialah
bahwa akan datang kepada kamu suatu
Tabut, yang di dalamnya
mengandung ketenteraman dari Rabb (Tuhan) kamu dan pusaka
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dipikul oleh malaikat-malaikat,
sesungguhnya dalam hal ini benar-benar ada suatu Tanda bagi kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang
beriman.” (Al-Baqarah [2]:249).
Tabut berarti (1) peti atau kotak; (2) dada atau rusuk dengan apa-apa yang dikandungnya seperti jantung dan sebagainya (Lexicon
Lane); (3) hati yang
merupakan gudang ilmu, kebijakan, dan keamanan (Al-Mufradat).
Para ahli tafsir berselisih tentang makna kata Tabut dan Bible
menyebutnya sebagai sebuah perahu
atau peti, dan gambaran yang diberikan oleh Al-Quran tegas menunjukkan
bahwa kata itu telah dipakai di sini dalam arti “hati” atau “dada.”
Jiwa Perwira Keturunan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun
a.s.
Penjelasan tentang Tabut
dalam ayat ini “yang di dalamnya
mengandung ketenteraman dari Tuhan kamu” tidak dapat dikenakan kepada bahtera (perahu), sebab jauh daripada
memberi ketenteraman dan kesejukan hati yang disebut oleh Bible tidak dapat melindungi kaum Bani Israil terhadap kekalahan, pula tidak melindunginya sendiri, sebab perahu itu dibawa lari oleh musuh.
Bahkan Saul yang membawa perahu itu dalam peperangan menderita kekalahan-kekalahan yang parah sehingga bahkan musuhnya pun menaruh kasihan kepadanya dan
ia menemui ajalnya dengan
penuh kehinaan.
Perahu
demikian tak mungkin merupakan sumber
ketenangan bagi kaum Bani Israil. Apa
yang dianugerahkan Allah Swt. kepada
mereka adalah hati yang penuh dengan keberanian
dan ketabahan, sehingga sesudah ketenangan tersebut turun kepada mereka,
mereka berhasil membalas serangan musuh dan menimpakan
kekalahan berat kepada mereka.
Karunia
lain yang diberikan Allah Swt. kepada
Bani Israil yang dipimpin Thalut (Gideon) disinggung dalam kata “pusaka.” Yakni Allah Swt. meresapi hati mereka dengan sifat-sifat mulia yang menjadi watak nenek-moyang mereka, keturunan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.. Pusaka
yang ditinggalkan (diwariskan) oleh anak-cucu
Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.
tidak terdiri atas hal-hal kebendaan (materi), tetapi yang
dimaksudkan ialah akhlak-akhlak baik
yang dengan itu mereka mendapat karunia
menjadi pewaris leluhur-leluhur agung
mereka.
Sehubungan dengan
keadaan umat Islam yang secara kuantitas bertambah besar (banyak) tetapi secara kualitas
semakin jauh dari sebutan “umat
terbaik” (QS.2:144; QS.3:111)
sebagaimana nubuatan Nabi
Besar Muhammad Saw. sebelum ini:
Diriwayatkan
Tauban r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Setelah aku wafat, setelah lama
kutinggalkan, umat Islam akan lemah.
Di atas kelemahan itu orang kafir akan menyerbu
mereka bagai orang yang menyerbu makanan dalam piring dan mengajak orang
lain makan bersama”. Maka para sahabat
r.a. pun bertanya: “Apakah ketika
itu umat Islam telah lemah dan musuh
sangat kuat?” Sabda beliau saw.: “Bahkan
pada masa itu mereka lebih ramai
(banyak) tetapi tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka
ibarat buih di laut.” Sahabat
bertanya lagi: “Mengapa seramai itu
tetapi seperti buih di laut?” Jawab
Rasulullah saw., “Karena ada dua
penyakit, yaitu mereka ditimpa penyakit al-Wahn.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah itu al-Wahn?” Rasulullah saw.
bersabda: “Cinta kepada dunia dan takut kepada kematian.” (Riwayat Abu Dawud no.4297; Ahmad
V/278. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah).
Berlimpahnya
“Mas Hitam” di Timur Tengah Penyebab Perpecahan Umat Islam
Berlimpah-ruahnya “mas hitam” di wilayah Timur Tengah di Akhir Zaman ini yang
terbukti tidak mampu mempersatukan hati umat Islam di Timur tengah -- bahkan
semakin memperparah perpercahan
di kalangan mereka -- membuktikan
benarnya nubuatan Nabi Besar Muhammad saw. tersebut, sebab kecintaan kepada duniawi
menyadi penyebab terjadinya kemiskinan
yang parah dalam hal akhlak dan ruhani umat Islam serta semakin jauh dari “Tauhid Ilahi” yang hakiki, sebagaimana
keadaan para pemuka Bani Israil yang menolak pengangkatan Thalut sebagai raja mereka, firman-Nya:
وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اللّٰہَ قَدۡ بَعَثَ لَکُمۡ طَالُوۡتَ
مَلِکًا ؕ قَالُوۡۤا اَنّٰی یَکُوۡنُ لَہُ
الۡمُلۡکُ عَلَیۡنَا وَ نَحۡنُ اَحَقُّ بِالۡمُلۡکِ مِنۡہُ وَ لَمۡ یُؤۡتَ سَعَۃً
مِّنَ الۡمَالِ ؕ قَالَ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰىہُ عَلَیۡکُمۡ وَ زَادَہٗ بَسۡطَۃً فِی
الۡعِلۡمِ وَ الۡجِسۡمِ ؕ وَ اللّٰہُ یُؤۡتِیۡ مُلۡکَہٗ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ
اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾ وَ قَالَ لَہُمۡ نَبِیُّہُمۡ اِنَّ اٰیَۃَ
مُلۡکِہٖۤ اَنۡ یَّاۡتِیَکُمُ التَّابُوۡتُ فِیۡہِ سَکِیۡنَۃٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ
بَقِیَّۃٌ مِّمَّا تَرَکَ اٰلُ مُوۡسٰی
وَ اٰلُ ہٰرُوۡنَ تَحۡمِلُہُ الۡمَلٰٓئِکَۃُ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیَۃً
لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾٪
Dan nabi
mereka berkata kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja bagi kamu.” Mereka berkata: “Bagaimana ia bisa memiliki kedaulatan atas
kami, padahal kami lebih berhak
memiliki kedaulatan daripadanya,
karena ia tidak pernah diberi harta yang
berlimpah-ruah?” Ia berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memilihnya sebagai raja atas kamu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan
badan.” Dan Allah
memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:248).
(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik
Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 22 April
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar